Kamis, 08 Juli 2010

WAWASAN WIYATA MANDALA

WAWASAN WIYATA MANDALA

Sekolah Wawasan Wiyata Mandala Tingkat Nasional Tahun 1997 dan Tahun 2000.
• Wawasan Wiyata Mandala adalah suatu pandangan atau sikap menempatkan sekolah sebagai lingkungan pendidikan. Suatu wawasan proses pembudayaan tata kehidupan keluarga besar, dimana para anggotanya merasa ikut memiliki, melindungi dan menjaga citra dan proses wibawa tersebut. Suatu lingkungan dimana terjadi proses koordinasi, proses komunikasi, tempat saling bekerja sama dan bantu membantu.
• Makna yang terkandung dalam proses pendidikan Wiyata Mandala adalah :
1. Sekolah hendaknya betul-betul menjadi tempat terselenggaranya proses belajar mengajar tempat dimana ditanamkan dan dikembangkan berbagai nilai-nilai ilmu pengetahuan, keterampilan dan wawasan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Nasional yaitu manusia yang cerdas, siap kerja, menguasai ilmu dan tehnologi tetap berakar pada nilai-nilai budaya bangsa.
2. Sekolah sebagai masyarakat belajar, dimana terjadi proses interaksi antara siswa, guru dan lingkungan sekolah, maka dalam kehidupan sekolah berperan unsur dan macam macam satuan, seperti; kepala sekolah, guru, orang tua siswa, para siswa, pegawai dan hubungan timbal balik antara sekolah dengan masyarakat dimana sekolah itu berada.
3. Sekolah sebagai tempat terselenggaranya proses belajar mengajar, tempat terjadinya proses pembudayaan kehidupan hanya dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya apabila di lingkungan sekolah tersebut dapat diciptakan suasana aman, nyaman, tertib dari segala ancaman.
Tujuan Wawasan Wiyata Mandala adalah diharapkan seluruh siswa dapat berperan aktif dalam meningkatkan fungsi sekolah sebagai lingkungan pendidikan. Aktivitas dan kreativitas siswa sangat diperlukan untuk menciptakan sekolah sebagai masyarakat belajar, tempat saling asah, saling asih, dan saling asuh yang dibimbing oleh kepala sekolah dan guru yang dapat mendorong semangat dan minat belajar. Hal yang sangat penting bagi siswa adalah dapat mendudukkan dan menempatkan diri sesuai dengan fungsinya sebagai warga wiyata.
Penghargaan atas pelaksanaan program ini diterima oleh kepala sekolah pada saat perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1997 di Istana Negara serta mengikuti segala rangkaian kegiatan menjelang 17 Agustus 1997 bersama Presiden serta Pimpinan Kelembagaan ditingkat Nasional.



Osis Bersama Bpk Muhammad Toyib
By asifa
Wawasan Wiyata Mandala
Yang di maksud dengan Wawasan Wiyata Mandala adalah pandangan tentang segala sesuatu di lunkungan sekolah. Sedangkan yang dimaksud Wawasan adalah pandangan / tanggapan , Wiyata adalah pelajaran / pendidik , Mandala adalah lingkungan / kawasan.
Prinsip-prinsip wawasan wiyata mandala :
• Sekolah merupakan lingkungan pendidik
• Kepala sekolah bertanggung jawab penuh dalam lingkungan penuh
• Guru dan orang tua siswa ada pengertian untuk mengembangkan tugas pendidik
• Warga sekolah harus menjujung tinggi citra sekolah
• Sekolah harus bertumpuh pada masyarakat dan mendukung keturunan

Ketahanan sekolah
• Letak lingkungan dan sekolah
• Sifat masyarakat
• Sifat manusia yang meliput
1. Disiplin
2. Tanggung jawab
3. Pengelolahan lingkungan sekolah itu sendiri
Peranan wawasan wiyata mandala
1. Siswa harus melindungi lembaganya dimana dia sekolah
2. Peran siswa terhadap kepala sekolah
3. Peran siswa pada guru karena guru yang mendidik dan melatih
4. Peran siswa terhadap kegiatan-kegiatan sekolah
Peran dalam intrakulikuler adalah dengan belajar giat sesuai tugas-tugas yang diberikan
Peran dalam ekstrakulikuler adalah ikut aktif dalam ekstra yang berlaku.
Siswa adalah sistim dari anggota sekolah
Wawasan Wiyata Mandala
1. Sekolah merupakan lingkungan pendidikan.
2. Kepala sekolah memiliki wewenang dan tanggung jawab
penuh atas penyelenggaraan pendidikan
dalam lingkungan sekolahnya.
3. Antara guru dan orang tua siswa harus ada
saling pengertian dan kerjasama erat untuk
mengemban tugas pendidikan.
4. Para warga sekolah di dalam maupun di luar sekolah
harus senantiasa menjunjung tinggi martabat dan citra guru.
5. Sekolah harus bertumpu pada masyarakat
sekitarnya dan mendukung antar warga.

A. PENGERTIAN KODE ETIK

A. PENGERTIAN KODE ETIK
Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas etis.(Chung, 1981 mengemukakan empat asas etis, yaitu : (1). Menghargai harkat dan martabat (2). Peduli dan bertanggung jawab (3). Integritas dalam hubungan (4). Tanggung jawab terhadap masyarakat.
Kode etik dijadikan standart aktvitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi., yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang betentangan dengan masyarakat. Oteng/ Sutisna (1986: 364) mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi.
Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola ketentuan, aturan, tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan aktifitas maupun tugas suatu profesi. Bahsannya setiap orang harus menjalankan serta mejiwai akan Pola, Ketentuan, aturan karena pada dasarnya suatu tindakan yang tidak menggunakan kode etik akan berhadapan dengan sanksi.

B. FUNGSI KODE ETIK
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 : 449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.
Biggs dan Blocher ( 1986 : 10) mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. (2). Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. (3). Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun (1992) mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri, antara lain :
1. Agar guru terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah.
3. Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya.
4. Penberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas.
Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng Sutisna (1986 : 364) bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta didik.
Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Dengan ditandai adanya perilaku empati,penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru.
Seorang guru apabila ingin menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika diatas tersebut.
Etika Hubungan garis dengan pimpinan di sekolah menuntut adanya kepercayaan. Bahwa guru percaya kepada pimpinan dalam meberi tugas dapat dan sesuai dengan kemampuan serta guru percaya setiap apa yang telah dikerjakan mendapatkan imbalan dan sebaliknya bahwa pimpinan harus yakin bahwa tugas yang telah diberikan telah dapat untuk dilaksanakan.
Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Guru juga harus menghayati apa saja yang menjadi tanggung jawab tugasnya.
C. CONTOH PENERAPAN KODE ETIK
1. Kode Etik Guru
“ Guru memiliki kewajiban untuk membimbing anak didik seutuhnya dengan tujuan membentuk manusia pembangunan yang pancasila”. Inilah bunyi kode etik guru yang perrtama dengan istilah “bebakti membimbing” yang artinya mengabdi tanpa pamrih dan tidak pandang bulu dengan membantu (tanpa paksaan, manusiawi). Istilah seutuhnya lahir batin, secara fisik dan psikis. Jadi guru harus berupaya dalam membentuk manusia pembangunan pancasila harus seutuhnya tanpa pamrih.
1. Kode Etik Guru Pembimbing/ Konselor Sekolah
“ Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan kliennya”. Apabila kode etik itu telah diterapkan maka konselor ketika berhadapan dalam bidang apapun demi lancarnya pendidikan diharapkan memiliki kepercayaan dengan clientnya dan tidak membuat clientnya merasa terseinggung.
________________________________________

ARTI KOMUNITAS

ARTI KOMUNITAS
Beberapa waktu yang lalu, ada seorang sahabat yang bertanya padaku sewaktu aku akan pergi ke plasa telkom buat ngumpul bareng teman-teman disana.

Pertanyaanya sederhana, namun cukup menggelitik: "apa sih untungnya ikutan pertemuan (baca: komunitas)ini?. Aku pun menjawab sekenanya yang terlintas di otakku: "nambah temen!" jawabku.

Pas nyari-nyari internet, definisi komunitas adalah sebuah kelompok sosial dari beberapa organisme yang berbagi lingkungan, umumnya memiliki ketertarikan yang sama. Dalam komunitas manusia, individu-individu di dalamnya dapat memiliki maksud, kepercayaan, sumber daya, preferensi, kebutuhan, risiko dan sejumlah kondisi lain yang serupa. Komunitas berasal dari bahasa Latin communitas yang berarti "kesamaan", kemudian dapat diturunkan dari communis yang berarti "sama, publik, dibagi oleh semua atau banyak", gitu kata wiki.

Serupa, sama, adalah kata kunci dalam komunitas, ketertarikan terhadap hal yang sama menjadi daya ikat dari suatu komunitas, apapun jenis/tipe komunitas itu.
Kecendrungan untuk berkumpul, sharing dan melakukan suatu hal bersama-sama juga menjadi hal tak terpisahkan juga dari sebuah komunitas.

Hal tersebut juga terjadi *tentunya* di komunitas yang ada di Pontianak, semisal SpeedyClub, Borneo blogger, Pcyco, Gamers dan komunitas lain yang ada di Pontianak, semuanya berawal pada ketertarikan akan hal yang sama yang membuat keterikatan diantara sesama anggota komunitas tersebut.

Nah, berbicara masalah "untung" yang bisa didapat dengan bergabung dalam suatu komunitas kalo boleh dikatakan BANYAK SEKALI, diantaranya - dan yang paling jelas - adalah bertambahnya teman/kenalan, sehingga akupun dapat tahu dengan orang-orang hebat seperti: Alexander Mering, Andre, Cangak, eNPe, Fadli, Freddy Hernawan, Eka Saputra, Kiki, Kurnia Ramadhan, Mbak Louise, Mimi, Motosuki, mriza, Pak Bheri, pipiew, Reza, Rofiqul Anwar, Rudi Handoko, Syafaat Roy G, Siti Anggareni, Stefanus Akim, Whandi, Yaser Syaifudin, Zoel Bathosai, dan masih banyak orang hebat yang belum di sebutkan disini *yang belum disebut belum mendaftar, jadi buruan daftar,hehehe*.

Hal lain yang bisa didapat dari komunitas adalah menambah pengetahuan dari sharing/berbagi ilmu, yang tentunya berhubungan dengan komunitas yang terbentuk, semisal komunitas motor tentunya para anggotanya sharing ilmu tentang ke-motor-an, komunitas IT berbagi ilmu tentang perkembangan IT dan seterusnya.

"Dampak" lain yang bisa timbul dari ber-komunitas adanya penambahan finasial, kan bisa saja teman-teman dalam komunitas itu yang nawari proyek, kerjaan atau hal lain yang bisa mendatangkan finansial bagi kita, atau mungkin ada yang bagi-bagi duit gratis *nah kalo yang ini, semua pasti mau, setuju???!!!*
A. PENGERTIAN KODE ETIK
Kode Etik Dapat diartikan pola aturan, tata cara, tanda, pedoman etis dalam melakukan suatu kegiatan atau pekerjaan. Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagai pedoman berperilaku.
Dalam kaitannya dengan profesi, bahwa kode etik merupakan tata cara atau aturan yang menjadi standart kegiatan anggota suatu profesi. Suatu kode etik menggambarkan nilai-nilai professional suatu profesi yang diterjemahkan kedalam standaart perilaku anggotanya. Nilai professional paling utama adalah keinginan untuk memberikan pengabdian kepada masyarakat.
Nilai professional dapat disebut juga dengan istilah asas etis.(Chung, 1981 mengemukakan empat asas etis, yaitu : (1). Menghargai harkat dan martabat (2). Peduli dan bertanggung jawab (3). Integritas dalam hubungan (4). Tanggung jawab terhadap masyarakat.
Kode etik dijadikan standart aktvitas anggota profesi, kode etik tersebut sekaligus sebagai pedoman (guidelines). Masyarakat pun menjadikan sebagai perdoman dengan tujuan mengantisipasi terjadinya bias interaksi antara anggota profesi. Bias interaksi merupakan monopoli profesi., yaitu memanfaatkan kekuasan dan hak-hak istimewa yang melindungi kepentingan pribadi yang betentangan dengan masyarakat. Oteng/ Sutisna (1986: 364) mendefisikan bahwa kode etik sebagai pedoman yang memaksa perilaku etis anggota profesi.
Konvensi nasional IPBI ke-1 mendefinisikan kode etik sebagai pola ketentuan, aturan, tata cara yang menjadi pedoman dalam menjalankan aktifitas maupun tugas suatu profesi. Bahsannya setiap orang harus menjalankan serta mejiwai akan Pola, Ketentuan, aturan karena pada dasarnya suatu tindakan yang tidak menggunakan kode etik akan berhadapan dengan sanksi.

B. FUNGSI KODE ETIK
Pada dasarnya kode etik memiliki fungsi ganda yaitu sebagai perlindungan dan pengembangan bagi profesi. Fungsi seperti itu sama seperti apa yang dikemukakan Gibson dan Michel (1945 : 449) yang lebih mementingkan pada kode etik sebagai pedoman pelaksanaan tugas prosefional dan pedoman bagi masyarakat sebagai seorang professional.
Biggs dan Blocher ( 1986 : 10) mengemukakan tiga fungsi kode etik yaitu : 1. Melindungi suatu profesi dari campur tangan pemerintah. (2). Mencegah terjadinya pertentangan internal dalam suatu profesi. (3). Melindungi para praktisi dari kesalahan praktik suatu profesi.
Sutan Zahri dan Syahmiar Syahrun (1992) mengemukakan empat fungsi kode etik guru bagi guru itu sendiri, antara lain :
1. Agar guru terhindar dari penyimpangan tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
2. Untuk mengatur hubungan guru dengan murid, teman sekerja, masyarakat dan pemerintah.
3. Sebagai pegangan dan pedoman tingkah laku guru agar lebih bertanggung jawab pada profesinya.
4. Penberi arah dan petunjuk yang benar kepada mereka yang menggunakan profesinya dalam melaksanakan tugas.
Kode etik guru sesungguhnya merupakan pedoman yang mengatur hubungan guru dengan teman kerja, murid dan wali murid, pimpinan dan masyarakat serta dengan misi tugasnya. Menurut Oteng Sutisna (1986 : 364) bahwa pentingnya kode etik guru dengan teman kerjanya difungsikan sebagai penghubung serta saling mendukung dalam bidang mensukseskan misi dalam mendidik peserta didik.
Etika hubungan guru dengan peserta didik menuntut terciptanya hubungan berupa helping relationship (Brammer, 1979), yaitu hubungan yang bersifat membantu dengan mengupayakan terjadinya iklim belajar yang kondusif bagi perkembangan peserta didik. Dengan ditandai adanya perilaku empati,penerimaan dan penghargaan, kehangatan dan perhatian, keterbukaan dan ketulusan serta kejelasan ekspresi seorang guru.
Seorang guru apabila ingin menjadi guru yang professional harusnya mendalami serta memiliki etika diatas tersebut.
Etika Hubungan garis dengan pimpinan di sekolah menuntut adanya kepercayaan. Bahwa guru percaya kepada pimpinan dalam meberi tugas dapat dan sesuai dengan kemampuan serta guru percaya setiap apa yang telah dikerjakan mendapatkan imbalan dan sebaliknya bahwa pimpinan harus yakin bahwa tugas yang telah diberikan telah dapat untuk dilaksanakan.
Guru sangat perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan. Guru juga harus menghayati apa saja yang menjadi tanggung jawab tugasnya.


C. CONTOH PENERAPAN KODE ETIK
1. Kode Etik Guru
“ Guru memiliki kewajiban untuk membimbing anak didik seutuhnya dengan tujuan membentuk manusia pembangunan yang pancasila”. Inilah bunyi kode etik guru yang perrtama dengan istilah “bebakti membimbing” yang artinya mengabdi tanpa pamrih dan tidak pandang bulu dengan membantu (tanpa paksaan, manusiawi). Istilah seutuhnya lahir batin, secara fisik dan psikis. Jadi guru harus berupaya dalam membentuk manusia pembangunan pancasila harus seutuhnya tanpa pamrih.
1. Kode Etik Guru Pembimbing/ Konselor Sekolah
“ Konselor harus menghormati harkat pribadi, integritas dan keyakinan kliennya”. Apabila kode etik itu telah diterapkan maka konselor ketika berhadapan dalam bidang apapun demi lancarnya pendidikan diharapkan memiliki kepercayaan dengan clientnya dan tidak membuat clientnya merasa terseinggung.
________________________________________

PEMBERIAN MOTIVASI GURU DALAM PEMBELAJARAN

PEMBERIAN MOTIVASI GURU DALAM PEMBELAJARAN



ABSTRAK:
Pemberian motivasi guru dalam pembelajaran dapat terdiri atas Pemberian Penghargaan, yang dapat menumbuhkan inisiatif, kemampuan-kemampuan yang kreatif dan semangat berkompetisi yang sehat, pemberian penghargaan sebagai upaya pembinaan motivasi tidak selalu harus berwujud atau barang, tetapi dapat juga berupa pujian-pujian dan hadiah-hadiah im-material. Pemberian perhatian yang cukup terhadap siswa dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan bentuk motivasi yang sederhana, karena banyak yang tidak memiliki motivasi belajar diakibatkan tidak dirasakannya adanya perhatian. Ajakan Berpartisipasi. Pada diri manusia ada sesuatu perasaan yang dihargai apabila dia dilibatkan pada sesuatu kegiatan yang dianggap berharga. Oleh karena itu guru, harus selalu mengajak dan mengulurkan tangan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran guna lebih bergairah dalam belajar dan memperkaya proses interaksi antar potensi siswa dalam proses pembelajaran.


A. PENDAHULUAN
Kegiatan pembelajaran yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi adalah sebagai suatu motivasi dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran. Belajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna dan pemahaman.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik dalam jalur formal. Guru dalam menjalankan fungsinya diantaranya berkewajiban untuk menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dialogis, dan memberikan motivasi kepada siswa dalam membangun gagasan, prakarsa, dan tanggung jawab siswa untuk belajar.
Motivasi yang timbul dari dirinya untuk berbuat sesuatu muncul secara kodrati dari diri manusia itu sendiri disebut motivasi intrinsik, sedangkan manusia yang menyebabkan mampu melaksanakan tugas dengan maksimal karena ada dorongan dari luar disebut motivasi ekstrinsik.
Dengan demikian guru diharapkan merupakan orang yang karena profesinya sanggup menimbulkan dan mengembangkan motivasi untuk kepentingan proses aspek-aspek pembelajaran di dalam kelas yang keberadaan siswanya berbeda-beda secara individual, misalnya perbedaan minat, bakat, kebutuhan, kemampuan, latar belakang sosial dan konsep-konsep yang dipelajari.
Dengan motivasi dari guru merupakan faktor yang berarti dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Dua pembangkit motivasi belajar yang efektif adalah keingintahuan dan keyakinan dalam kemampuan diri. Setiap siswa memiliki rasa ingin tahu, maka guru perlu memotivasi dengan pertanyaan diluar kebiasaan atau tugas yang menantang disertai penguatan bahwa siswa mampu melakukannya. Dengan demikian salah satu upaya guru yaitu memberikan motivasi kepada siswa dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran.

B. PENGERTIAN MOTIVASI
Pengertian motivasi menurut kamus bahasa indonesia adalah dorongan yang timbul dalam diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan tindakan, tujuan tertentu.
Menurut E. Kusmana Fachrudin (2000:44) motivasi dibedakan atas dua golongan yaitu :
1. Motivasi Asli. Motivasi asli adalah motivasi untuk berbuat sesuatu atau dorongan untuk melakukan sesuatu yang muncul secara kodrati pada diri manusia.
2. Motivasi Buatan. Motivasi buatan adalah motivasi yang masuk pada diri seseorang baik usaha yang disengaja maupun secara kebetulan.
Sejalan dengan pendapat Irianto (1997:247), motivasi eksternal adalah setiap pengaruh dengan maksud menimbulkan, menyalurkan atau memelihara perilaku manusia. Dipertegas oleh Mulia Nasution (2000:11), motivasi dari luar adalah pembangkit, penguat, dan penggerak seseorang yang diarahkan untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat diatas maka, jelas motivasi merupakan faktor yang berarti dalam mendorong seseorang untuk menggerakkan segala potensi yang ada, menciptakan keinginan yang tinggi serta meningkatkan semangat sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.









C. MOTIVASI GURU DALAM PEMBELAJARAN
Motivasi yang sengaja dibentuk oleh orang luar dalam hal ini guru dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain :
1. Pemberian Penghargaan. Dengan pemberian penghargaan ini dapat besifat positif karena dapat menumbuhkan inisiatif, kemampuan-kemampuan yang kreatif dan semangat berkompetisi yang sehat, pemberian penghargaan sebagai upaya pembinaan motivasi tidak selalu harus berwujud atau barang, tetapi dapat juga berupa pujian-pujian dan hadiah-hadiah im-material.
2. Pemberian Perhatian. Pemberian perhatian yang cukup terhadap siswa dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan bentuk motivasi yang sederhana, karena banyak yang tidak memiliki motivasi belajar diakibatkan tidak dirasakannya adanya perhatian. Sebagaimana yang dijelaskan Dimyati dan Mudjiono (2002:42) prinsip-prinsip yang berkaitan dengan perhatian dan motivasi pembelajaran yaitu perhatian merupakan peranan penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tidak mungkin adanya pembelajaran. Perhatian akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya, apabila bahan pelajaran dirasakan sebagai suatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan sehari-hari akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya. Apabila perhatian alami ini tidak ada, maka siswa perlu dibangkitkan perhatiannya.
3. Ajakan Berpartisipasi. Pada diri manusia ada sesuatu perasaan yang dihargai apabila dia dilibatkan pada sesuatu kegiatan yang dianggap berharga. Oleh karena itu guru, harus selalu mengajak dan mengulurkan tangan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran guna lebih bergairah dalam belajar dan memperkaya proses interaksi antar potensi siswa dalam proses pembelajaran.
Selain hal-hal diatas, untuk membangkitkan motivasi yang efektif adalah melalui prnsip-prinsip motivasi dalam belajar. Setiap siswa memiliki rasa ingin tahu, oleh karena itu guru memberikan penguatan bahwa siswa pasti bisa.
Prinsip-prinsip motivasi dalam belajar adalah sebagai berikut :
1. Kebermaknaan. Siswa akan termotivasi untuk belajar jika kegiatan dan materi belajar dirasa bermakna bagi dirinya. Keberadaan lazimnya terkait dengan bakat, minat, pengetahuan, dan tata nilai siswa.
2. Pengetahuan dan keterampilan Prasyarat. Siswa akan dapat belajat dengan baik jika dia telah menguasai semua prasyarat baik berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Oleh karena itu, siswa akan menggunakan pengetahuan awalnya untuk menafsirkan informasi dan pengalamannya. Penafsiran itu akan membangun pemahaman yang dipengaruhi oleh pengetahuan awal itu. Dengan demikian, guru perlu memahami pengetahuan awal siswa untuk dikaitkan dengan bahan yang akan dipelajarinya. Sehingga membuat belajar menjadi lebih mudah dan bermakna.
3. Model. Siswa akan menguasai keterampilan baru dengan baik jika guru memberikan contoh dan model untuk dilihat dan ditiru.
4. Komunikasi Terbuka. Siswa akan termotivasi untuk belajar jika penyampaian dilakukan secara terstuktur sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa sehingga pesan pembelajaran dapat dievaluasi dengan tepat.
5. Keaslian dan Tugas yang Menantang. Siswa akan termotivasi untuk belajar jika mereka disediakan materi, kegiatan baru atau gagasan murni/asli (novelty) dan berbeda. Kebaruan atau keaslian gagasan akan menambah konsentrasi siswa pada pembelajaran. Hal ini berpengaruh pada pencapaian hasil belajar. Konsentrasi juga dapat bertambah bila siswa menghadapi tugas yang menantang dan sedikit melebihi kemampuan. Sebaliknya bila tugas terlalu jauh dari kemampuan, akan terjadi kecemasan, dan bila tugas kurang dari kemampuan akan terjadi kebosanan.
6. Latihan yang Tepat dan Aktif. Siswa akan dapat menguasai materi pembelajaran dengan efektif jika KBM memberikan kegiatan latihan yang sesuai dengan kemamapuan siswa dan siswa dapat berperan aktif untuk mencapai kompetensi yang diharapkan.
7. Penilaian Tugas. Siswa akan memperoleh pencapaian belajar yang efektif jika tugas dibagi dalam rentang waktu yang tidak terlalu panjang dengan frekuensi pengulangan yang tinggi.
8. Kondisi dan Konsekuensi yang Menyenangkan. Siswa akan belajar dan terus belajar jika kondisi pembelajaran dibuat menyenangkan, nyaman dan jauh dari perilaku yang menyakitkan perasaan siswa. Belajar melibatkan perasaan. Suasana belajar yang menyenangkan sangat diperlukan karena otak tidak akan bekerja optimal bila perasaan dalam keadaan tertekan. Perasaan senang biasanya akan muncul bila belajar diwujudkan dalam bentuk permainan khususnya pendidikan usia dini. Selanjutnya bermain dapat dikembangkan menjadi eksperimentas yang lebih tinggi.
9. Keragaman Pendekatan. Siswa akan belajar jika mereka diberi kesempatan untuk memilih dan menggunakan berbagai pendekatan dan stategi belajar. Pengalaman belajar tidak hanya berorientasi pada buku teks tetapi juga dapat dikemas dalam berbagai kegiatan praktis seperti proyek, simulasi, drama dan atau penelitian/pengujian.
10. Mengembangkan Beragam Kemampuan. Siswa akan belajar secara optimal jika pelajaran disajikan dapat mengembangkan berbagai kemampuan seperti kemampuan logis matematis, bahasa, musik, kinestetik, dan kemampuan inter maupun intra personal. Tiap siswa memiliki lebih dari satu kecerdasan yang meliputi kecerdasan : musik, gerak badan (kinestetik), logika-matematika, bahasa, ruang, intra pribadi, dan antar pribadi. Sekolah perlu menyediakan berbagai pengalaman belajar yang memungkinkan kecerdasan itu berkembang; sehingga anak dengan berbagai kecerdasan yang berbeda dapat terlayani secara optimal.
11. Melibatkan Sebanyak Mungkin Indera. Siswa akan menguasai hasil belajar dengan optimal jika dalam belajar siswa dimungkinkan menggunakan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran.
12. Keseimbangan Pengaturan Pengalaman Belajar. Siswa akan lebih menguasai materi pembelajaran jika pengalaman belajar diatur sedemikian rupa sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk membuat suatu refleksi penghayatan, mengungkapkan dan mengevaluasi apa yang dia pelajari.

D. KESIMPULAN
1. Guru adalah merupakan orang yang karena profesinya sanggup menimbulkan dan mengembangkan motivasi untuk kepentingan proses pembelajaran di kelas sehingga tercapai tujuan pembelajaran dengan cara: pemberian penghargaan, pemberian perhatian, dan ajakan berpartisipasi.
2. Prinsip-prinsip motivasi dala pembelajaran, teridiri atas: kebermaknaan, pengetahuan dan keterampilan prasyarat, model, komunikasi terbuka, keaslian dan tugas yang menantang, latihan yang tepat dan aktif, penilaian tugas, kondisi dan konsekuensi yang menyenangkan, keragaman pendekatan, mengembangkan beragam kemampuan, melibatkan sebanyak mungkin indera, dan keseimbangan pengaturan pengalaman belajar.

E. DAFTAR PUSTAKA
Dimyati, Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Bandung. PT Rineka Cipta
Depdiknas. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta
E. Kusmana, Pachrudin. 2000. Asas, strategi-metode. UPI. Bandung
Irianto. 1997. Edisi Kedua. Pengantar Manajemen. IBII STIE. Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Balai Pustaka. Jakarta
Mulia Nasution. 2000. Manajemen Modern. Pionir Jaya. Bandung
Otong Kardisaputra. Belajar dan Pembelajaran. FKIP Unla. Bandung
Sardiman. 2000. Interaksi dan Motivasi Belajar. Grafindo Persada. Jakarta
Dikelola oleh Pusat Pengembangan dan Peningkatan Pembelajaran Elektronik.
FKIP Universitas Langlangbuana.
SERTIFIKASI DAN PROFESIONALISME GURU
DI ERA REFORMASI PENDIDIKAN

Oleh : Hujair AH. Sanaky
ABSTRAK:
Profesionalisme guru, tentu harus terkait dan dibangun melelui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, pengabdian masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat. Penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks, menyangkut kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru. Penilaian harus dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan dan kompetensi pada bidang kependidikan.

1. PENDAHULUAN
Menghadapi pesatnya persaingan pendidikan di era global ini, semua pihak perlu menyamakan pemikiran dan sikap untuk mengedepankan peningkatan mutu pendidikan. Pihak-pihak yang ikut meningkatkan mutu pendidikan adalah pemerintah, masyarakat, stakeholder, kalangan pendidik serta semua subsistem bidang pendidikan yang harus berpartisipasi mengejar ketertinggalan maupun meningkatkan prestasi yang telah diraih. Dari pihak yang disebutkan di atas, dalam pembahasan tulisan ini yang disoroti hanya masalah “guru”, sebab ”guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik atas ketidakberesan sistem pendidikan”. Namun tidak dapat dimungkiri bahwa, “pada sisi lain guru juga menjadi sosok yang paling diharapkan dapat mereformasi tataran pendidikan. Guru menjadi mata rantai terpenting yang menghubungkan antara pengajaran dengan harapan akan masa depan pendidikan di sekolah yang lebih baik” [Naniek Setijadi, From: http://tpj. bpk penabur. or.id/..., , akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15].
Pandangan di atas, rasanya tidak mudah untuk menjadi guru dewasa ini, sebab guru menjadi fokus utama dari kritik-kritik permasalahan pendidikan di Indonesia. Menjadi guru merupakan profesi yang penuh dengan tantangan. Guru berhadapan dengan tuntutan kualitas profesi, amanah dari orang, masyarakat, stakeholder, pemerintah dan karena guru tetap dianggap memiliki akuntabilatas atas keberhasilan pembalajan akademis siswa. Guru juga berhadapan dengan tuntutan perubahan yang begitu cepat, seperti informasi yang begitu mudah diakses melalui internet yang sudah berang tentu akan mengubah aspek-aspek pendidikan konpensional yang selama ini ditekuni. Hal ini, tentu saja akan memaksa para guru untuk mengubah model dan metode belajar – mengajar yang selama ini ditekuni serta materi dan jenis tugas-tugas yang diberikan kepada murid.
Permasalahan guru di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai dan jelas hal ini ikut menentukan mutu pendidikan nasional. Mutu pendidikan nasional kita

Yang rendah, menurut beberapa pakar pendidikan, ”salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya ”mutu guru” itu sendiri di samping faktor-faktor yang lain. Maka, sebenarnya permasalahan guru di Indonesia harus diselesaikan secara komprehensif, yaitu menyangkut semua aspek yang terkait berupa kesejahteraan, kualifikasi, pembinaan, perlindungan profesi, dan administrasinya” [Baca: Purwanto, http://www. pustekkom.go.id/ teknodik/t10/10-7.htm]. Tetapi, ”setiap kali membedah mutu pembelajaran, guru selalu dijadikan kambing hitam. Terlebih dengan mutu pendidikan Indonesia yang terus terpuruk dibanding negara tetangga” [Kompas, 10 Maret 2004, dalam Naniek Setijadi, From:http://tpj.bpkpenabur.or.id/...,akses,selasa,26/4/2005,jam10.15]. Sumber permasalahan pendidikan di Indonesia, sebenarnya bukan hanya pada ”persoalan guru” saja, tetapi persoalan perhatian pemerintah dan masyarakat, dana, kurikulum, metologi, manajemen, pimpinan sekolah yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan.
Rendahnya kualitas tenaga kependidikan, merupakan masalaah pokok yang dihadapi pendidikan di Indonesia. Katakan saja sebagai contoh, motivasi menjadi tenaga pendidik [guru] di kebanyakan sekolah-sekolah Islam selama ini dikarenakan dan hanya dilandasi oleh faktor pengabdian dan keikhlasan, sedangkan dari sisi kemampuan, kecakapan dan disiplin ilmu dikatakan masih rendah [baca, Hujair, 2003: 226]. Hal ini, menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan Islam dan tentu mengalami kesulitan untuk memiliki keunggulan kompetitif. Maka, masalah pokok dalam pendidikan Islam pada dasarnya adalah masalah yang terkait dengan faktor kualitas tenaga guru [Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, 25 Juli 2001]. Fazlur Rahman, menyatakan Indonesia, seperti halnya negeri-negeri Muslim besar lainnya, juga menghadapi masalah pokok dalam modernisasi pendidikan Islam : yaitu masalah kelangkaan tenaga yang memadai untuk mengajar dan melakukan riset. Lanjut Fazlur Rahman, bagaimana memproduksi tenaga seperti itu [Fazlur Rahman,1985:151]. Pandangan ini, menjadi tantang dan persolan bagi pendidikan Islam di Indonesia untuk berusaha membangun kualitas sumber dayanya.
Tuntutan sumber daya pendidikan yang berkualitas dan profesional menjadi suatu keharusan pada era global, informasi dan reformasi pendidikan. Indikator perubahan sekarang yang dapat diamati adalah sebagian guru mulai melanjutkan pendidikannya kejenjang S-2, sekolah-sekolah mulai nenerapkan kurikulum berbasisi kompetensi [KBK], mulai dan sudah berbenah menuju ”manajemen berbasis sekolah” [MBS] yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah. Dengan demikian, ”sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan perioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat” [E. Mulyasa, 2002:24]. Maka, dalam pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, menuntut sumber daya [pimpinan, guru, dan tenaga administrasi] yang memiliki kemampuan profesional dan integritas dalam mengelola pendidikan. Pelaksanaan program-program pendidikan didukung dengan kepemimpinan yang demokratis dan profesional, guru-guru yang profesional dan memiliki kompetensi dalam bidangnya masing-masing, serta tenaga administrasi profesional dalam pengelolaan administrasi pendidikan [Hujair, 2003: 226]. Laporan Bank Dunia [1999], bahwa salah satu penyebab makin menurunnya mutu pendidikan [persekolahan] di Indonesia adalah “kurang profesionalnya” para kepala sekolah sebagai manajer pendidikan di tingkat lapangan [dalam Hujair, 2003:226].
Program peningkatan kemampuan sumber daya pendidikan berupa training for trainers atau kemampuan untuk belajar terus menurut untuk meningkatkan kualitas bagi para pendidik [guru] merupakan suatu fokus dan tuntutan yang perlu diperhatikan. Dengan kata lain, lembaga-lembaga pendidikan harus melakukan investasi secara periodik bagi para guru jika ingin tetap memimpin di dunia pendidikan, karena apabila gagal dalam investasi guru akan berakibat patal [Hujair, 2003: 227] dalam persaingan

Merebut animo pengguna pendidikan sebagai pengakuan terhadap kualitan lembaga pendidikan tersebut. Sebagai contoh, indikator pengakuan terhadap kualitas dan kemampuan guru, bukan hanya datang dari jalur struktural/jabatan dan bukan juga dari jenjang karir fungsional seperti asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan guru besar yang rigid, tetapi reward dan penghargaan yang lebih besar akan lebih banyak diperoleh dari pengakuan dan penghargaan yang diberikan langsung oleh masyarakat, karena kemampuan akademik dan profesionalisme guru [Onno W. Purbo,16 Mei 2002] itu sendiri. Untuk itu, semuanya akan dikembali kepada masyarakat profesional yang memiliki kompetensi serta kapasitas yang akan menilai kualitas dan kompetsni guru.
Tuntutan profesionalisme guru tentu harus terkait dan dibangun melelui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaannya sebagai guru. Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah : Kompotensi profesional, yaitu kompetensi pada bidang substansi atau bidang studi [kurikulum], kompetensi bidang pembelajaran [menguasai materi pelajaran], teknik dan metode pembelajaran, sistem penilaian, pendidikan nilai dan bimbingan. Kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, mampu menyelesaikan masalah, pengabdian pada masyarakat. Kompetensi personal, yaitu kompetensi nilai yang dibangun melalui perilaku yang dilakukan guru, komitmen pada tugas, berdisiplin tinggi, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat.

2. PROFESIONALISME GURU
Berbicara tentang profesional guru sangat komprehensif. Profesi guru harus dilihat dari kemampuan menguasai kurikulum, materi pembelajaran, teknik dan metode pembelajaran, kemampuan mengelola kelas, sikap komitmen pada tugas, harus dapat menjaga kode etik profesi, di sekolah ia harus menjadi "manusia model" yang akan ditiru siswanya, di masyarakat menjadi tauladan. ”Dalam Jurnal Education Leadership [terbit Maret 1994], ada lima ukuran seorang guru dinyatakan profesional, yaitu : Pertama, memiliki komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Kedua, secara mendalam menguasai bahan ajar dan cara mengajarkan. Ketiga, bertanggung jawab memantau kemampuan belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi. Keempat, mampu berpikir sistematis dalam melakukan tugas dan kelima, seyogianya menjadi bagian dari masyarakat belajar di lingkungan profesinya”[P. Ruspendi, 2004, From:http://www.pikiran-rakyat.com..., akses, selasa 26/4/2005, jam 10.30].
"Malcon Allerd" [Kompas, 12 September 2001] mengatakan, bahwa selain kelima aspek itu, sifat dan kepribadian guru amat penting artinya bagi proses pembelajaran adalah adaptabilitas, entusiasme, kepercayaan diri, ketelitian, empati, dan kerjasama yang baik. Guru juga dituntut untuk mereformasi pendidikan, bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin sumber-sumber belajar di luar sekolah, perombakan struktural hubungan antara guru dan murid, seperti layaknya hubungan pertemanan, penggunaan teknologi modern dan penguasaan iptek, kerja sama dengan teman sejawat antar sekolah, serta kerja sama dengan komunitas lingkungannya [P. Ruspendi, 2004, Ibid].
Pandangan ini, menunjukkan bahwa betapa tingginya profesionalisme guru, tetapi apabila dilihat dari kondisi guru yang ada mulai dari aspek kemampuan, kesejahteraan dan fasilitas yang memadai, terasa sulit bagi guru untuk survive mengikuti tuntutan ini. Dengan demikian, profesionalisme guru tidak hanya berpulang pada guru itu sendiri, tetapi diperlukan political will dari pemerintah, dukungan, penghargaan, perbaikan kesejahteraan dan peningkatan kualitas melalui in service training. Maka, untuk lebih jelas menurut hemat penulis, perlu mencermati perkemabangan dan permasalahan

Profesi guru, kompetensi penting profesi guru, dan upaya meningkatkan profesionalisme guru.

A. PERKEMABANGAN DAN PERMASALAHAN PROFESI GURU
Profesi guru adalah termasuk profesi yang tua di dunia. Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat. Pada zaman prasejarah proses belajar mengajar berlangsung melalui pengamatan dan dilakukan oleh keluarga [Purwanto, From: http://www.pustekkom..., akses, 14/2/2005]. Proses pembelajaran dilakukan one-to-one dari rumah kerumah dan di tempat-tempat ibadah. Katakan saja, sistem dan model pembelajaran lebih bercorak individual, artinya para murid belajar secara individual pada guru satu persatu. Tuntutan profesi guru juga mengukuti perkembangan dan model pembelajaran pada saat itu. Pada saat sekarang ini, sejalan dengan perkembangan sistem persekolahan, maka profesi guru juga telah dan terus mengalami perubahan mengikuti tuntutan perubahan tersebut
Profesi guru pernah menjadi profesi penting dalam perjalanan bangsa ini dalam menanamkan nasionalisme, menggalang persatuan dan berjuang melawan penjajahan. Profesi guru pada zaman dulu merupakan profesi yang paling bergensi dan menjadi dambaan bagi generasi muda pada saat itu. Tetapi, ”sayangnya pada beberapa dekade yang lalu dan masih berlanjut sampai kini “profesi guru dianggap kurang bergengsi”, kinerjanya dinilai belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat. Persoalan guru semakin menjadi persoalan pokok dalam pembangunan pendidikan yang disebabkan oleh adanya tuntutan perkembangan masyarakat dan perubahan global. Hingga kini persoalan guru belum pemah terselesaikan secara tuntas” [Purwanto, http://www.pustekkom...akses,14/2/2005]. Patutu diakui, bahwa guru selalu diberikan beban dan tanggung jawab yang berat dalam usaha mendidik anak bangsa, tetapi ”perhatian” pada profesi mereka, berupa peningkatan kualitas melalui pelatihan, inservice training profesi, reward dan penghargaan yang memadai belum optimal diberiakan pada mereka. Para pengamat dan penilai pendidikan dengan kapasitas ilmunya dengan mudah memberikan kritik terhadap “profesi guru” yang dianggap kurang bergengsi, kinerjanya yang dinilai belum optimal dan belum memenuhi harapan masyarakat, tetapi solusi jalan keluar yang bersifat ”action” belaum optimal diberikan pada mereka berupa pelatihan pada bidang pengetahuan dan keterampilan baru secara periodik. Prof. Suyanto, memberikan contoh dengan negara Singapura, para guru selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan oleh guru sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap tahun mereka mendapatkan hak untuk memperoleh in service training selama 33 jam. Itulah sebabnya guru mereka selalu dapat dipertahankan profesionalismenya dan mutu pendidikan mereka menduduki peringkat kedua setelah Korea Selatan di antara 12 negara di Asia [Suyanto, 2004, From:http://www.Suara merdeka.com..., selasa 26 april 2005, jam.10.30].
Pada era reformasi dan disentralisasi pendidikan saat ini, guru semestinya dapat lebih mendapatkan pemberdayaan baik dalam arti profesi maupun kesejahteraan. Mengapa? Karena saat ini pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme dan kesejahteraan guru tentu dapat langsung dipantau oleh pemerintah daerah [Suyanto,From:http://www.Suara merdeka.com. Ibid]. Tetapi usaha kerah itu, belum terlihat secara nyata dilakukan oleh pemerintah, sementara guru selalu dihadapkan pada tuntutan profesionalisme dan harus mengikuti perubahan yang terjadi begitu cepat di masyarakat. Katakan saja, guru sekarang berhadap dengan kondisi ”ekstrim” yaitu akan terjadi percepatan ilmu pengetahuan melalui informasi internet dan media yang lain. Siswa atau mahasiswa, mungkin akan memiliki ilmu yang lebih tinggi daripada guru. Guru, tidak lagi dapat

Memaksa pandangan dan kehendaknya, karena mungkin para siswa atau mahasiswa telah memiliki pengetahuan yang lebih dari infromasi yang mereka peroleh. Sebab ilmu pengetahuan akan terbentuk secara kolektif dari banyak pemikiran dan pandangan yang tersosialisasi melalui media informasi internaet dan media informasi lainnya [Hujair , 2004: 95]. Misalnya saja, kalau dulu siswa hanya menerima materi dari sumber tunggal, yakni guru. Tetapi, kini siswa akan menerima materi dari ”banyak sumber”. Guru, bukan lagi satu-satunya sumber belajar, karena siswa dapat belajar dari siapa saja dengan bahasa yang mereka kuasai [baca : Mastuhu,1999 : 34]. Sekarang ini, siswa dapat belajar dari internet, cd-rom, media masa, dan media lain, yang akan menjadi pusat kegiatan belajar mandiri. P. Ruspendi [guru SMA Pasundan Majalaya], menceritakan seorang guru di Jakarta yang harus mengajar anak-anak orang kaya. Murid-murid yang diajarnya sudah dapat menggunakan komputer, internet, bahasa Inggris, dan berwawasan luas, disebabkan orang tuanya langganan koran, akibatnya sang guru tersebut ”merasa minder” [P.Ruspendi, 2004, Ibid].
Berdasarkan cerita ini, maka mau tidak mau, senang tidak senang, siap tidak siap guru harus mengikuti tuntutan perubahan tersebut. Apabila tidak, maka guru akan terpinggirkan dalam percaturan era perubahan saat ini. Oleh karenanya, ”untuk menghadapi semua tantangan ini, kemampuan profesional guru harus teruji. Artinya, guru tidak cukup hanya dengan penguasaan materi mata pelajaran saja tidak, tetapi guru diharapkan bertanggungjawab atas pengembangan profesinya secara terus-menerus, ”tidak “gaptek” [gagap teknologi] dan harus benar-benar menguasai teknologi pembelajaran termasuk penggunaan komputer dan teknologi lainnya untuk proses belajar mengajar dan pengembangan profesi” [Naniek Satijadi, 2004, From: http://tpj.bpkpenabur.or.id..., akses, selasa, 26/4/ 2005, jam 10.15]. Guru sekarang, harus menguasai kemampuan akademik, pedagogik, sosial dan budaya, teknologi informasi, mampu berpikir kritis, mengikuti dan tanggap terhadap setiap perubahan serta mampu menyelesaikan masalah. ”Guru tidak hanya datang ke sekolah melulu untuk mengajar saja sebagai tugas rutinitas dan kemampuan untuk mengelola kelas saja juga tidak cukup lagi. Tetapi, guru diharapkan dapat menjadi pemimpin dan sebagai agen perubahan yang mampu mempersiapkan anak didik agar siap menghadapi tantangan perubahan global dan era informasi di luar sekolah” [baca: Naniek Satijadi, 2004, Ibid].
”Profesi guru di abad 21 ini sangat dipengaruhi oleh pendayagunaan teknologi komunikasi dan informasi. Guru dengan kemampuan artifisialnya dapat membelajarkan siswa dalam jumlah besar, bahkan dapat melayani siswa yang tersebar di seluruh penjuru dunia. Guru bukan lagi hanya mengendalikan siswa yang belajar di kelas, tetapi ia mampu membelajarkan jutaan siswa di "kelas dunia" memberi pelayanan secara individual pada waktu yang bersamaan. Sementara itu dengan bantuan teknologi informasi internet pembelajaran dapat dilakukan secara multiakses dan memberi layanan secara individual di mana saja, kapan saja dan di tempat di mana mereka berbeda [Purwanto, http://www.pustekkom. go.id...Ibid]. Maka, dengan teknologi informasi internet, ilmu pengetahuan dapat di transmisikan pada kecepatan tinggi. Tuntutan kemampuan” dan “kesempatan” untuk mengakumulasi, mengolah, menganalisis, mensintesa data menjadi informasi, kemudian menjadi ilmu pengetahuan yang bermanfaat sangatlah penting artinya dalam dunia informasi saat ini [Hujair, 2004:91]. Kondisi ini, akan berpengaruh pada kebiasaan dan budaya guru yang selama ini dilakukan. Sebab, ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan karena diperoleh melalui sarana “internet” dan “media informasi” lainnya. “Paradigma ini dikenal sebagai distributed intelligence [distributed knowledge] dan dengan paradigma ini, tanpaknya fungsi guru/dosen/lembaga-lembaga pendidikan yang akhirnya akan beralih dari sebuah sumber ilmu pengetahuan menjadi ”mediator” dari ilmu pengetahuan. Maka, proses

Long life learning dalam dunia informal yang sifatnya lebih learning based daripada teaching based akan menjadi kunci perkembangan sumber daya manusia. Pada posisi ini, peran web, Homepage, Search Engine, CD-ROM tentu akan merupakan alat bantu yang akan sangat mempercepat proses distributed knowledge [Onno W. Purbo, 2000, Form: http://www.detik.com/onno/jurnal/200004/aplikasi/ pendidikan/p-19.shtml]. Tuntutannya, para guru harus benar-benar memiliki kemampuan dan kesempatan untuk menyesuaikan, mengakses dan dapat menggunakan sarana teknologi informasi sebagai media pembelajaran.
Dapat dikatakan bahwa persoalan guru di Indonesia sangat terkait dan terletak pada masalah-masalah kualifikasi yang rendah, kemampuan profesional, pembinaan yang terpusat, perlindungan profesi yang belum memadai dan perseberannya yang tidak merata sehingga menyebabkan kekurangan guru di beberapa lokasi. Segala persoalan guru tersebut timbul oleh karena adanya berbagai sebab dan masing-masing saling mempengaruhi [Purwanto, http://www.pustekkom...,Ibid]. Dengan demikian, permasalahan guru, baik secara langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan mutu profesionalisme guru yang dianggap ”belum optimal”. Oleh karena itu, permasalah guru harus diselesaikan secara komprehensif yang menyangkut dengan semua aspek yang terkait yaitu aspek kualifikasi, kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, manajemen, kesejahteraan guru dan fasilitas.

B. KOMPETENSI PENTING PROFESI GURU
Profesionalisme guru dibangun melalui penguasaan kompetensi-kompetensi yang secara nyata diperlukan dalam menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru. ”Kompetensi-kompetensi penting jabatan guru tersebut adalah kompetensi bidang substansi atau bidang studi, kompetensi bidang pembelajaran, kompetensi bidang pendidikan nilai dan bimbingan serta kompetensi bidang hubungan dan pelayanan/pengabdian masyarakat. Pengembangan profesionalisme guru meliputi peningkatan kompetensi, peningkatan kinerja [performance] dan kesejahteraannya. Guru sebagai profesional dituntut untuk senatiasa meningkatkan kemampuan, wawasan dan kreativitasnya” [Purwanto, http://www.pustekkom...,Ibid] masing-masing yang saling mempengaruhi. Depdiknas, 2001, merumuskan beberapa kompetensi atau kemampuan yang sesuai seperti kompetensi kepribadian, bidang studi, dan pendidikan dan pengajaran [Paul Suparno, 2004:47].
Masyarakat dan orang tua murid telah mempercayakan sebagian tugasnya kepada guru. Tugas guru yang diemban cukup mulia dan berat, karena dari limpahan tugas masyarakat dan orang murid tersebut, antara lain adalah kemampuan guru mentransfer pengetahuan dan kebudayaan dalam arti luas, keterampilan menjalani kehidupan [life skills], nilai-nilai [value] dan beliefs [baca:Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid]. Dari life skills ini, guru diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi proses pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency, sehingga outputnya jelas. Dari sini, guru dengan kemampuannya diharapkan dapat mengembangkan dan membangun tiga pilar keterampilan, yaitu : [1] Learning skills, yaitu keterampilan mengembangkan dan mengola pengetahuan dan pengalaman serta kemampuan dalam menjalani belajar sepanjang hayat. [2] Thinking skills, yaitu keterampilan berpikir kritis, kreatif dan inovatif untuk menghasilkan keputusan dan pemecahan masalah secara optimal. [3] Living skills, yaitu keterampilan hidup yang mencakup kematangan emosi dan sosial yang bermuara pada daya juang, tanggungjawab dan kepekaan sosil yang tinggi [Sudjarwadi, KR, 5 -1-2003, dalan Hujair, 2003: 199]. Selain itu, guru sebagai pendidik bukan hanya mampu mentransfer pengetahuan, keterampilan dan sikap saja, tetapi guru juga dilimpahkan tugas padanya untuk mempersiapkan generasi yang lebih baik di masa depan. Apabila dicermati, sungguh berat tugas guru, tetapi penghargaan pada profesi guru kurang optimal dan selalu dinilai kinerjanya rendah. Apapun itu semua, mau tidak mau, guru harus memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha membimbing siswa agar dapat siap menghadapi kenyataan hidup [the real life] dan bahkan mampu memberikan contoh tauladan bagi siswa, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Guru akan berhadapan dengan persoalan yang serius yaitu sekolah akan berubah dari format kelas menjadi selolah bersama dalam satu kota, sekolah bersama dalam satu negara, bahkan bersama di dunia atau sekolah global. Maka, dapat dikatakan dengan kemajuan teknologi informasi, sekolah bersama yang diikuti oleh siswa dalam jumlah besar tersebut dapat terlaksana. Indikator ini, terbukti dengan kemajuan “teknologi informasi dewasa ini sudah mampu meraih semua titik yang terpencil sekalipun dan masyarakat mulai belajar serta mendapatkan informasi dan ilmu dari berbagai sumber seperti radio, televisi, komputer internet, media masa dan media yang lain. Sekolah sebagai “institusi pendidikan” mungkin akan tergeser perannya dan sudah tidak menjadi sumber informasi satu-satunya, bahkan bukan lagi menjadi pencetus sumber informasi yang mutakhir. Kata kuncinya adalah “harus berubah”, karena apabila tanpa adanya kesadaran untuk malakukan perubahan, perkembangan kemajuan dunia akan menjadi ancaman untuk menjadikan sekolah sebagai lembaga usang [Winarno Surakhmad, From:http://www.Bpkpenabur.or.id..., Ibid].
Kondisi pembelajar yang disebutkan di atas akan berpengaruh pada rutinitas kehadiran guru secara fisik di kelas. Artinya, kehadiran guru ”secara fisik” dalam ruangan yang di sebut kelas, mungkin tidak lagi menjadi keharusan dan yang menjadi keharusan adalah adanya perhatian dan aktivitas secara mandiri terhadap sesuatu persoalan yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi interaktif. Sejalan dengan perubahan format belajar klasikal ke belajar bersama secara global tapi mandiri tersebut, dapat dipastikan bahwa peran guru juga akan berubah. Selain itu, peran guru di Indonesia juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan desentralisasi dan atau otonomi pendidikan. Dari kondisi ini, maka kemampuan guru di masa depan, dituntut harus mengusai dan mampu memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Guru harus berubah peran menjadi fasilitator yang membelajarkan siswa sampai menemukan sesuatu [scientific curiosity'], bersikap demokratis serta menjadi profesional yang mandiri dan otonom [baca: Purwanto, http://www.pustekkom.go.id…, Ibid]. Proses pembelajaran lebih terfokus pada outcomes competency dan peningkatan relevansi dengan kebutuhan masyarakat [Hujair, 2003:199]. Maka, peran guru seperti itu sejalan dengan era masyarakat madani [civil society] yaitu masyarakat demokratis, plural, taat hukum, menghargai hak asasi manusia.
Dari paparan di atas, pertanyaan kompetensi profesi yang harus dimiliki seorang guru. Kompetensi penting profesi guru adalah: Pertama, kompetensi pada bidang studi dan pendidikan/pengajaran, yaitu mengharuskan guru untuk menguasai kurikulum, menguasai materi pelajaran, menguasai teknik dan metode mengajar. Kemampuan pada bidang studi, yaitu ”menuntut pemahaman pada karakteristik dan isi bahan ajar, menguasai konsepnya, mengenal betul metologi ilmu tersebut, memahami konteks ilmu tersebut dengan masyarakat, lingkungan dan dengan ilmu lain. Jadi, guru tidak cukup hanya mendalami ilmuny sendiri tetapi bagaimana dampak dan relasi ilmu tersebut dalam kehidupan masyarakat dan dengan ilmu yang lain [Paul Suparno, 2004: 51]. Dengan demikian, guru diharpkan memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas. Sedangkan kemampuan guru dalam bidang pembelajaran/pendidikan, yaitu guru harus memiliki ”pemahaman akan sifat, ciri anak didik dan perkembangannya, mengerti beberapa konsep pendidikan yang berguna untuk membantu siswa, menguasai beberapa metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran dan perkembangan siswa, menguasai sistem evaluasi yang tepat dan baik ”[Paul Suparno, 2004: 52]. Kedua, kompetensi sosial, yaitu kompetensi pada bidang hubungan dan pelayanan, dapat berkomunikasi dengan orang lain, mampu menyelesaikan masalah, pengabdian pada masyarakat. Ketiga, kompetensi persolan atau kepribadian ”mencakup aktualisasi diri, kepribadian yang utuh, berbudi luhur, jujur, dewasa, beriman, bermoral, peka, objektif, luwes, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat”. [Depdiknas, 2001, dalam Paul Suparno, 2004: 47], mengikuti perubahan, komitmen pada tugas, berdisiplin tinggi, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan serta guru yang gaul dan ”funky” sehingga menjadi dambaan setiap orang, sosok guru yang menjadi tauladan bagi siswa dan panutan masyarakat.
Tuntutan ke dapan, guru harus diuji kompetensinya secara berkela untuk untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembanga. Maka, dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa, yang dimulai dari kemampuan menganalisis, merencanakan atau merancang, mengembangkan, dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan. Maka, ”kemampuan-kemampuan yang selama ini harus dikuasai guru juga akan lebih dituntut ”aktualisasinya”. Misalnya saja, kemampuannya dalam merencanakan pembelajaran dan merumuskan tujuan, mengelola kegiatan individu, menggunakan multi metoda, dan memanfaatkan media, berkomunikasi interaktif dengan baik, memotivasi dan memberikan respons, melibatkan siswa dalam aktivitas, mengadakan penyesuaian dengan kondisi siswa, melaksanakan dan mengelola pembelajaran, menguasai materi pelajaran, memperbaiki dan mengevaluasi pembelajaran, memberikan bimbingan, berinteraksi dengan sejawat dan bertanggungjawab kepada konstituen serta, mampu melaksanakan penelitian” [Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid].
Untuk dapat mengelola pembelajaran yang efektif dan, guru harus senan tiasa belajar dan meningkatkan keterampilan dasarnya mengajar. Rosenshine dan Stevens, mengemukakn sembilan keterampilan dasar mengajar yang penting dikuasai guru, yaitu keterampilan membuka pembelajaran dengan mereview secara singkat pelajaran terdahulu yang terkait dengan pelajaran yang akan diajarkan, menyajikan tujuan pembelajaran, menyajikan materi dalam langkah-langkah kecil dan disertai latihannya masing-masing, memberikan penjelasan dan keterangan yang jelas dan detail, memberikan latihan yang berkualitas, mengajukan pertanyaan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menunjukkan pemahamannya, membimbing siswa menguasai keterampilan atau prosedur baru, memberikan latihan dan koreksi, memonitor kemajuan siswa [Rosenshine dan Stevens, 1986, Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid]. Selain itu, guru harus melibatkan siswa dalam upaya merumuskan konsep map mata pelajaran yang diajarkan, merumuskan tujuan pembelajaran atau learning objective, merumuskan materi-matei pembelajaran, buku atau referensi yang digunakan, metode dan strategi pembelajaran yang digunakan, dan sistem penilaian yang digunakan.
Dengan demikian, langkah-langkah dalam upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru: Pertama, guru harus menguasai kemampuan-kemampuan dan keterampilan dasar pembelajaran secara baik. Kedua, guru berusaha meningkatkan kualitasnya dengan mengikuti pelatihan dalam bidang keterampilan baru yang diperluakn guru sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, harus mau membuat penilaian atas kinerjanya sendiri atau mau melakukan otokritik terhadap kinerjanya sendiri. Keempat, kritik yang membangun, pendapat dan berbagai harapan masyarakat harus menjadi perhatian sebagai upaya perbaikan kinerja guru. Kelima, guru harus berusaha memperbaiki profesionalismenya sendiri dan masyaraakat hanya membantu mempertajam dan menjadi pendorong untuk meningkatkan profesi guru.
c. Upaya Guru Meningkatkan Profesionalisme Suyanto, menyatakan bahwa ”banyak program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu paling tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan berbasis sekolah, contextual teaching-learning [CTL], evaluasi belajar model portofolio, dan yang terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Semua itu kurang atau bahkan tidak mengikutsertakan guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu, padahal semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Lantas, bagiamana peran guru kita dalam pembaharuan dan inovasi pendidikan itu? Inilah persoalannya. Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru didorong untuk memiliki profesionalisme yang lebih tinggi. Upaya peningkatan kualitas guru, seharusnya juga diikuti dengan kesejahteraan yang lebih memadai, tetapi kenyataan tidaklah seperti itu dan banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja guru. [Suyanto, 2004, From:http://www.Suara merdeka.com..., Ibid].
Lebih lanjut Suyanto menyatakan, ”penggagas pembaharuan pendidikan memiliki asumsi, bahwa guru dengan serta merta dapat melakukan apa saja yang menjadi program pembaharuan yang dicanangkan pemerintah. Menurutnya, asumsi inilah yang tidak benar. Sebab, kenyataannya guru harus mendapatkan retraining yang memadai dan tersistem untuk dapat melakukan berbagai pembaharuan dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah perlu melihat kembali kemampuan riil yang dimiliki guru untuk melakukan atau mengadopsi setiap inovasi dibidang pendidikan[Suyanto, 2004, From:http://www.Suara merdeka.com..., Ibid]. Maka, upaya peningkatan profesionalisme guru pada akhirnya harus terpulang dan ditentukan oleh para guru itu sendiri serta harus dimulai sejak awal rekruting guru. Hal ini, sebagaimana pernah disampaikan Ketua Umum PGRI, Muhammad Surya, bahwa pengembangan profesionalisme guru seharusnya sudah dimulai sejak masa perekrutan. Selain itu perlu didukung fasilitas yang memadai. Perbaikan kesejahteraan guru merupakan agenda penting yang tidak bisa ditinggalkan [Kompas, 30 Januari 2003].
Dengan adanya tuntutan untuk peningkatan kualitas profesionalisme guru, maka guru harus selalu berusaha melakukan hal-hal sebagai berikut : Pertama, memahami tuntutan standar profesi yang ada, yaitu guru berupaya memahami tuntutan standar profesi yang ada dan ditempatkan sebagai prioritas utama jika guru ingin meningkatkan profesionalismenya. Hal ini didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu [1] persaingan global sekarang memungkinkan adanya mobilitas guru secara lintas negara, [2] sebagai profesional seorang guru harus mengikuti tuntutan perkembangan profesi secara global, dan tuntutan masyarakat yang menghendaki pelayanan vang lebih baik, [3] untuk memenuhi standar profesi ini, guru harus belaiar secara terus menerus sepanjang hayat, [4] guru harus membuka diri, mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya. Kedua mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan, artinya upaya untuk mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan bagi guru. Maka, dengan dipenuhinya kualifikasi dan kompetensi yang memadai, guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Ketiga, membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi. Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru dengan membina jaringan kerja atau networking. Guru harus berusaha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi-inovasi di bidang profesinya dan akses sosial yang lainnya. Keempat, mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan bermutu tinggi kepada pengguna pendidikan, merupakan suatu keharusan di era reformasi pendidikan sekarang ini. Artinya, semua sektor dan bidang dituntut memberikan pelayanan prima kepada kastemer atau pengguna. Maka, Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada pengguna yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Terlebih lagi pelayanan pendidikan adalah termasuk pelayanan publik vang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Dengan demikian, guru harus mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kelima, mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreativitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar guru senantiasa tidak ketinggalan tidak “gaptek” [gagap teknologi] dalam kemampuannya mengelola pembelajaran. Guru dapat memanfaatkan media dan ide-ide baru bidang teknologi pendidikan seperti media presentasi dengan menggunakan LCD dan komputer [hard technologies] dan juga pendekatan-pendekatan baru bidang teknologi pendidikan [soft technologies] [baca : Purwanto, http://www.pustekkom..., Ibid], menggunakan internet sebagai media pembelajaran. Sebab, perkembangan teknologi “informasi dan internet” merupakan faktor pendukung utama percepatan yang memungkinkan tembusanya batas-batas dimensi ruang dan waktu yang tentu juga akan berpengaruh pada paradigma pendidikan termasuk profesi guru dalam menjalankan tugasnya.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta perubahan masyarakat yang lebih demokratis, terbuka dan era reformasi pendidikan akan menghasilkan suatu tekanan atau pressure dan tuntutan terhadap profesionalisme guru dalam mendayagunakan teknologi komunikasi informasi tersebut, termasuk dalam hal pertanggungjawaban atau akuntabilitasnya profesinya, sebab profesi guru termasuk profesi yang kompetitif. Dengan demikian, guru harus siap dan bersedia untuk diuji kompetensinya secara berkala untuk menjamin agar kinerjanya tetap memenuhi syarat profesional yang terus berkembang. Sebab, di masa depan dapat dipastikan bahwa profil kelayakan guru akan ditekankan kepada aspek-aspek kemampuan membelajarkan siswa yang dimulai dari merencanakan atau merancang, menganalisis, mengembangkan, mengimplementasikan dan menilai pembelajaran yang berbasis pada penerapan teknologi pendidikan.
3. PERSOALAN SERTIFIKASI GURU
Masalah mutu profesionalisme guru yang masih belum memadai yang dikemuakakan di atas, diperlukan upaya peningkatan terhadap profesionalisme guru tersebut. Diperlukan upaya penilaian terhadap kinerja guru secara berkala untuk menjamin agar kinerja guru tetap memenuhi syarat profesionalisme. Tanpaknya, Menteri Pendidikan Nasional, akan mencanangkan guru yang profesional. Tetapi, wacana yang mencuat ini terkait dengan rencana kebijakan tersebut adalah sertifikasi dan uji kompetensi guru, sebagai suatu wujud langkah untuk meningkatkan kualitas guru. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, tanpaknya pemerintah memandang perlu pembentukan sebuah badan independen profesi guru yang akan menilai profesionalisme guru. Badan tersebut, nantinya akan mengeluarkan sertifikat bagi para guru yang dinilai memiliki kompetensi atau memenuhi persyatanan sebagai profesi guru. Rencana tersebut, akan dikuatkan dengan keputusan presiden dan kini sedang digodok oleh tim kecil dengan unsur di antaranya Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional [Kompas, Rabu, 24 November 2004].
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan bahwa badan independen tersebut nantinya berada di luar LPTK dan anggotanya juga tidak harus berprofesi sebagai guru, tetapi siapa saja yang memiliki keperdulian dan integritas untuk itu dapat menilai dan menjaga kewibawaan profesi guru. Badan tersebut mewakili stakeholder atau kepentingan publik, mulai dari pengguna, penyedia, pengatur, dan pengawas tenaga kependidikan. Lebih lanjut menurutnya, bahwa program dan penetapan kelulusan pendidikan profesi, juga ditentukan oleh badan profesi tersebut dan akan disusun persyaratan sehingga tidak semua LPTK dapat menyelenggarakan pendidikan profesi tersebut [Kompas, 24 November 2004]. Kebiajakan ini, tentu akan berdampak serius pada lembaga-lembaga pendidikan yang memproduk tenaga keguruan, karena lembaga-lembaga pendidikan yang berkualifikasi sajalah yang dapat dibenarkan untuk mendidik para calon guru.
”Para calon guru harus mencapai gelar sarjana dahulu baru kemudian mengambil profesi guru dan untuk menjaga kualitas profesi guru direncanakan semacam lisensi guru yang tidak berlaku selamanya, tetapi harus diperbaharui dalam jangka waktu tertentu. Lisensi guru dapat dicabut jika guru tersebut membuat kesalahan atau melanggar kode etik profesinya” [Kompas, 24 November 2004]. Kebijakan ini, perlu dihargai bagi pihak-pihak yang terlibat dalam dunia Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, karena kebijakan tersebut untuk mengangkat harkat dan wibawa guru, sehingga lebih dihargai oleh pemakai tenaga profesi ini yang juga akan diikuti dengan standar gaji dan penghargaan yang layak bagi guru yang memiliki sertifikat tersebut.
Tetapi, dalam kebijakan tersebut ada hal yang perlu dicermati yaitu ”badan independen sertifikasi guru” tersebut berada di luar Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK]. Artinya anggotanya juga tidak harus berprofesi sebagai guru, tetapi siapa saja yang diambil dari unsur-unsur yang ”tidak berprofesi guru”, tetapi memiliki keperdulian dan integritas untuk dapat menilai dan menjaga kewibawaan guru. Hal ini, tentu akan menjadi tantangan dan persoalan serius bagi orang yang memiliki profesi guru itu sendiri dan mungkin juga guru yang sekarang sudah mengajar akan dinilai ulang oleh lembaga tersebut. Suatu hal yang sangat ironis sekali, guru-guru akan dinilai oleh ”badan independen sertifikasi guru” yang tidak memiliki kompetensi kependidikan. Dr. Abdorrahman Gintings, pengamat pendidikan dari Universitas Buya Hamka [Uhamka], menyatakan bahwa sungguh sangat tidak professional jika masyarakat terkait [guru dan pengelola pendidikan] tidak diajak bicara dan juga tidak tepat jika nantinya keanggotaan badan independen sertifikasi guru dapat diambil dari unsur-unsur yang tidak berprofesi guru yang kelak mengeluarkan sertifikasi bagi guru yang dianggap kompeten [Kompas, 26 Nopember 2004].
Penilaian terhadap profesi guru mungkin dapat dilakukan oleh badan tersebut dengan baik, tetapi hasilnya mungkin kurang valid dan akurat, karena kemampuan guru dinilai oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi dalam bidang kependidikan dan keguruan. Sebab, penilaia terhadap profesi guru tidak hanya sekedar pada aspek kualitas, administrasi dan manajemen saja, tetapi masalah guru lebih luas dan kompleks yaitu menyangkut dengan kemampuan profesional, personal, sosial termasuk perilaku dan kurangnya penghargaan yang layak terhadap profesi guru.
Abdorrahman Gintings, mencontohkan bagaimana tingginya pengetahuan seseorang tentang medis, tetapi dia bukan dokter, tetap tidak pantas ikut menyertifikasi profesi dokter [Kompas, 26 Nopember 2004]. Begitu juga sertifikasi guru, bagaimana tingginya pengetahuan seseorang tentang pendidikan, tetapi dia bukan berprofesi sebagai guru, maka tidak pantas ikut menyertifikasi profesi guru. Guru yang setiap harinya menggeluti profesinya dalam proses belajar mengajar dan tahu betul tentang prinsip-prinsip keguruan yang memiliki kompetensi atau memenuhi persyaratan untuk profesinya itu yang pantas dan layak dilibatkan dalam “badan independen sertifikasi guru” untuk melakukan sertifikasi terhadap guru dan bukan dari unsur-unsur yang tidak memiliki profesi sebagai guru. Maka, menurut Abdorrakhman, jika kebijakan ini “dipaksakan, maka pemerintah bakal melecehkan dan mengusik nurani 2,2 juta guru di Tanah Air” Indonesia ini. Maka, jangan sampai kebijakan tentang guru yang sifatnya fundamental ditetapkan terburu-buru dan sepihak tanpa melibatkan masyarakat guru itu sendiri [Kompas, 26 Nopember 2004]. Kemampuan guru dalam upaya mendidik jangan disederhanakan dengan kemampuan mengajar saja, sehingga dapat dinilai sepintas oleh siapa saja. Tetapi, mendidik bukan sekedar membutuhkan pemahaman tentang materi pelajaran, tetapi juga melibatkan hati dan nurani dalam wujud interaksi antara guru dan murid, karena mendidik membutuhkan penjiwaan.
Rencana pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru perlu dihargai sebagai wujud perhatian terhadap nasib guru yang terpinggirkan dan selalu mendapatkan julukan ”pahlawan tanpa jasa”. Namun pemerintah tidak perlu membentuk badan baru untuk melakukan sertifikasi, artinya daripada membentuk badan baru, akan lebih baik jika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau universitas keguruan eks IKIP diberdayakan untuk melakukan sertifikasi guru. Lembaga-lembaga kependidikan yang menyelenggarakan program Akta IV sebagai upaya untuk sertifikasi guru perlu ditingkatkan kualitas, sehingga memiliki kualifikasi untuk dapat mendidik para calon guru.

4. PENUTUP
Permasalah guru harus diselesaikan secara komprehensif yang menyangkut dengan semua aspek yang terkait, yaitu aspek kualifikasi, kualitas, pembinaan, training profesi, perlindungan profesi, manajemen, kesejahteraan guru, dan tersedianya fasilitas yang memadai. Sungguh berat tugas guru, tetapi penghargaan pada profesi guru kurang optimal, tetapi para guru selalu dinilai kinerjanya rendah dan kurang optimal. Perlu ada perhatian yang serius kepada para guru, yaitu mereka harus selalu mendapatkan pelatihan dalam bidang pengetahuan dan keterampilan baru yang diperlukan sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Perlu ada sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan berkelanjutan atau ada inservice training yang baik bagi para guru. Para guru harus siap untuk mempebaiki dan meningkatkan mutu kinerjanya agar memiliki kompetensi yang optimal dalam usaha membimbing siswa agar siap menghadapi kenyataan hidup [the real life] dan bahkan mampu memberikan contoh tauladan bagi siswa, memiliki pribadi dan penampilan yang menarik, mengesankan dan menjadi dambaan setiap orang.
Rencana pemerintah untuk melakukan sertifikasi guru perlu dihargai sebagai wujud perhatian terhadap nasib guru yang terpinggirkan. Tetapi, pemerintah harus mengikutsertakan guru-guru atau tenaga kependidikan sebagai variabel penting dalam ”badan independen sertifikasi guru” tersebut dan badan tersebut tetap berada dalam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau pemerintah tidak perlu membentuk badan baru untuk melakukan sertifikasi tetapi akan lebih baik jika Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan [LPTK] atau universitas keguruan eks IKIP diberdayakan untuk melakukan sertifikasi guru. Lembaga-lembaga kependidikan yang menyelenggarakan program Akta IV sebagai upaya untuk sertifikasi guru, perlu ditingkatkan kualitasnya baik dari sisi profesional penyelenggaraan, kurikulum, metode pembelajaran, sistem peneilaian dan manajemennya, sehingga memiliki ”kualifikasi” untuk dapat mendidik para calon guru yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA
Asep Saeful Mimbar dan Agus Sulthonie, Tantangan Madrasah Dewasa Ini, Pikiran Rakyat, Artikel Edisi 25 Juli 2001, Form: http://www.pikiran-rakyat.com/ prcetak/ 072001/ 25/0801.htm. 2002.
E. Mulyasa, 2002, Manajemen berbasis Sekolah, Konsep Strategi dan Implementasi, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Fazlur Rahman, 1985, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Terj., Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung.
Hujair AH. Sanaky, 2003, Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia, Safiria Insania Press dan MSI, Yogyakarta.
________, 2004, Tantangan Pendidikan Islam di Era Informasi [Pergeseran Paradigma Pendidikan Islam Indonesia di Era Informasi], Jurnal Stusi Islam, MUKADDIMAH, Kopertais Wilayah III dan PTAIS DIY, No. 16 TH.X/2004, ISSN:0853-6759, Yogyakarta.
Kompas, Rencana Badan Independen Sertifikasi Guru, From: http://www.kompas. com/ kompas-cetak/0411/24/humaniora/1398342.htm., akses, 17/11/2004.
_______, Hati-hati Sertifikasi Guru, From: http://66.102.9.104/search?q= cache: c60QtyluWW4J:www.kompas.com/kompas-ceta., akses. 27/11/2004.
Maman, 2005, Upaya Memantapkan Profesionalisme Guru, Pikiran Rakyat, Bandung, 24 Maret 2005, From: http://www.pikiran rakyat.com/cetak/2005/ 0305/ 24/1105. htm, selasa 26 april 2005, jam 10.30
Masthuhu, 1999, Pemberdayaan Sistem Pendidikan Islam, Logos, Jakarta.
Muhammad Surya, Pengembangan Profesionalisme Guru, Kompas, 30 Januari 2003, Jakarta.
Naniek Setijadi, 2004, Tantangan Profesionalisme Guru Masa Depan, From: http:// tpj. bpkpenabur.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=18&Itemid=27, akses, selasa, 26 April 2005, jam 10.15.
Onno W. Purbo, Tantangan Bagi Pendidikan Indonesia, From:http://www.detik. com/ net/ onno/jurnal/2004/aplikasi/pendidikan/p-19.shtml., akases, 16 Mei 2002.
Paul Suparno, 2004, Guru Demokratis di Era Reformasi, Grasindo, Jakarta.
Purwanto, Profesionalisme Guru, From: http://www.pustekkom.go.id/teknodik/t10/10-7.htm, akses, senin, 14-2-2005.
P. Ruspendi, 2004, Profesionalisme Guru, Harapan dan Kenyataan, From: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1204/20/0310.htm, selasa 26 april 2005, jam 10.30
Sudjarwadi, “Ubah Wajah UGM dengan Jiwa Kepemimpinan”, Kedaulatan Rakyat, 5 Januari 2003, hlm.10.
Suyanto, 2004, Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu Suara Merdeka, Kamis, 30 Desember 2004, From: http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/30/opi04.htm, selasa 26 april 2005, jam. 10.30
Winarno Surakhmad, 2002, Profesionalisme Dunia Pendidikan, From:http://www. Bpkpenabur.or.id/kps-jkt/berita/ 200006/ artikel2. htm, akses, 27 Mei 2002.




































































INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP MATARAM
2008/2009

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM INOVASI PENDIDIKAN

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM INOVASI PENDIDIKAN



Pendahuluan

Banyaknya diskusi tentang inovasi pendidikan menunjukkan bahwa inovasi pendidikan kedokteran yang sedang dilaksanakan mendapat perhatian dan tanggapan dari banyak pihak. Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada telah lebih dari empat tahun melaksanakan inovasi pendidikan dengan menggunakan modul, tetapi masih nampak bahwa tutorial belum berjalan seperti yang diharapkan. Kendalanya masih banyak. Kadang-kadang ketidakpuasan juga timbul terhadap perubahan yang baru dibuat. Belum semua tenaga pengajar terlibat dalam tutorial, dan yang telah terlibat belum mampu memberikan prioritasnya pada inovasi itu. Para nara sumber yang diharapkan dapat membantu meningkatkan mutu tutorial belum menggunakan kesempatan yang telah diberikan kepadanya.


Mengingat berbagai hal tersebut dapat diduga bahwa dasar yang mantap bagi inovasi pendidikan kedokteran sebenarnya masih harus dipersiapkan. Dalam beberapa hal masih harus diadakan perubahan, dan dalam hal-hal tertentu masih perlu dimantapkan dan dikembangkan, terutama bagi SDM pelaksananya. Tanpa mengurangi penghargaan atas kerja yang telah dilakukan oleh pelopor inovasi, kiranya banyak yang sependapat bahwa dasar untuk pengembangan inovasi pendidikan kedokteran masih perlu banyak perbaikan dan diperkuat. Dalam memantapkan dasar itu hendaknya perlu diperhatikan semua komponen yang terlibat di dalamnya. Salah satu komponen itu adalah tenaga pengajar sebagai SDM yang melaksanakan inovasi itu. Masih banyak tenaga pengajar terutama yang senior belum terlibat secara optimal. Padahal bila mau belajar dari pengalaman terdahulu, justru tenaga senior termasuk Guru Besar juga memberikan pengajaran pada mahasiswa tahun pertama. Oleh karena itu dalam menghadapi masa depan seharusnya juga melihat masa lampau. Mungkin ada gagasan masa lampau yang dapat dipakai kembali.1 Nilai dan pengalaman dapat dipetik dan digunakan untuk kepentingan masa sekarang.

Ada dasar pelaksanaan inovasi pendidikan kedokteran yang belum kokoh. Hal ini dapat dilihat antara lain pada jalannya tutorial yang belum mantap. Pendapat dapat berbeda tentang betapa kokohnya dasar-dasar yang telah ada, tetapi dapat dirasakan dan semuanya akan sependapat bahwa banyak hal menanti penyempurnaan. Dalam hal ini sekali lagi ingin ditekankan bahwa jerih payah mereka yang telah berjasa dalam menegakkan inovasi pendidikan kedokteran tidak boleh diabaikan bahkan harus dijadikan teladan.

Banyaknya tenaga pengajar yang telah dimiliki sebenarnya dapat memperlancar pelaksanaan inovasi pendidikan, tetapi pada kenyataannya tidak demikian. Masih banyak tenaga pengajar yang belum terlibat dalam pelaksanaan inovasi itu. Sementara yang telah dilibatkan, masih ada yang belum melaksanakan tugasnya secara optimal. Dalam hal ini perlu ada pemikiran tentang program pengembangan SDM agar mereka lebih mampu berperan aktif untuk keberhasilan inovasi itu.

Pengetahuan dan pengertian tenaga pengajar tentang inovasi pendidikan kedokteran belum sama dan belum merata, oleh karena itu pembinaan masih sangat dibutuhkan. Demikian pula pembinaan pada iklim kerja harus diusahakan agar mampu menciptakan maturitas kepribadian tenaga pengajar yang ada. Maturitas SDM sangat diperlukan pada pelaksanaan inovasi karena sikap dan perilaku yang mature dalam menerima inovasi merupakan tangga menuju keberhasilan yang diharapkan. Maturitas kepribadian mendorong untuk bersikap altruistik dan dengan perilaku altruistik itu maka orang akan merasa bahagia dan terhormat bila dapat membantu keberhasilan inovasi itu. Di samping itu sikap altruistik juga akan mendorong orang untuk meletakkan prioritas pada kepentingan bersama dari pada kepentingan pribadi sehingga akan lebih sering melupakan kepentingan sendiri untuk tercapainya kepentingan orang banyak. Ia akan merasa hidupnya lebih bermanfaat bila dapat bekerja untuk kepentingan orang banyak.

Inovasi dan timbulnya perubahan

Inovasi pendidikan yang sedang dilaksanakan di FK UGM saat ini merupakan hal yang banyak dibicarakan. Pelaksanaan inovasi pendidikan ternyata memerlukan banyak perubahan. Inovasi diprogramkan dan diarahkan pada tujuan untuk memperbaiki pendidikan sehingga diharapkan mampu menghasilkan keluaran yang lebih baik. Inovasi dilaksanakan karena banyak sebab dan salah satunya adalah timbulnya ketidakpuasan terhadap pendidikan yang ada sehingga harus dibuat perubahan baru. Perubahan yang dibuat mungkin akan sangat luas baik dalam lama waktu belajar, isi pelajaran, cara mengajar atau tujuan pengajaran.

Alasan lain timbulnya perubahan dalam pendidikan kedokteran adalah ilmu pengetahuan yang berkembang dengan cepat, demikian juga teknologi. Selanjutnya teknologi pendidikan dan ilmu kelola juga bertambah maju dengan pesat, sedangkan SDM sangat kurang sehingga semua ini menuntut perubahan dalam pendidikan kedokteran. Sukarnya memperoleh tenaga pengajar, apalagi yang berpengalaman dan dalam jumlah yang cukup banyak, menyebabkan pengelola pendidikan merasa perlu memperbaiki proses mengajar dengan melakukan usaha pengembangan SDM yang ada. Umumnya dosen FK tidak mempunyai bekal metodologi mengajar. Biasanya yang dipentingkan adalah penguasaan dan pendalaman materi yang diajarkan serta pengalaman dalam bidang ilmunya masing-masing.

Perubahan juga perlu dilakukan oleh karena filsafat ilmu dan filsafat kedokteran juga berubah, sehingga orang melihat kedokteran sekarang lain dari pada dahulu. Konsep tentang penyakit dan kesehatan berubah, demikian pula tentang pengobatan dan perannya dalam totalitas kebudayaan. Pandangan terhadap ilmu kedokteran juga berbeda-beda tergantung dari filsafat yang digunakan.2

Perubahan telah menimbulkan terjadinya pergantian dari suatu kondisi ke kondisi lain yang berpengaruh pada individu, kelompok dan bahkan pada institusi secara menyeluruh. Tentu saja bila menginginkan timbulnya perubahan yang memuaskan harus direncanakan secara sistematik. Aspek yang rumit (crucial) dalam proses perubahan itu adalah cara mengatasi atau mengurangi hambatan yang ada. Perubahan akan menjadi sangat mudah bila semua yang terlibat menginginkan dan meyakini bahwa memang diperlukan adanya perubahan. Agar perubahan terjadi sesuai dengan yang diharapkan maka harus dapat diciptakan (create) kepercayaan dan keyakinan antara mereka yang menghendaki perubahan dan mereka yang dapat mempengaruhi proses perubahan itu. Alur perubahan tidak seharusnya berakhir pada penerapannya (implementation). Harus dibuat kondisi yang selalu dapat diadaptasi untuk perubahan lebih lanjut (secara terus menerus), oleh karena itu perubahan selalu disesuaikan dengan kebutuhan sekarang sehingga harus bersifat situasi baru dan fleksibel. Fase akhir dari alur perubahan meliputi evaluasi yang efektif terhadap proses perubahan itu.

Pengembangan SDM harus direncanakan,3 berlangsung terus menerus untuk meningkatkan kemampuan dan penampilan melalui berbagai bentuk latihan, pendidikan, dan program pengembangan. Tujuan latihan untuk meningkatkan penampilan individu (SDM) sesuai tugas yang diembannya atau kemampuan lain yang berkaitan dengan tugas itu, serta menimbulkan motivasi kerja. Dengan demikian latihan meliputi aktivitas yang mampu meningkatkan hal-hal tersebut. Tujuan pendidikan adalah meningkatkan kemampuan individu secara menyeluruh pada hal-hal khusus yang berkaitan dengan tugasnya. Tujuan ini dapat dicapai dengan berbagai aktivitas seperti seminar tentang meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan kepemimpinan. Tujuan program pengembangan adalah memberikan kesempatan pada individu untuk berkembang ke jenjang yang lebih tinggi, dengan diberi kesempatan belajar agar memiliki wawasan yang luas dan mempersiapkan SDM yang mampu menyesuaikan diri dengan adanya perubahan dan pertumbuhan. Pada hakekatnya ruang lingkup SDM adalah pada 3 komponen tersebut dengan tujuan primer meningkatkan produktivitas tenaga dan mencegah berkurangnya ketrampilan yang telah dimiliki.

Pelaksanaan inovasi pendidikan ternyata membutuhkan perhatian yang serius dari semua sivitas akademika yang ada, termasuk meningkatnya SDM sebagai pelaksana inovasi itu merupakan kebutuhan yang perlu mendapatkan perhatian pula. Inovasi pendidikan yang berkembang dengan cepat memberi dampak pada keharusan SDM pelaksananya untuk ikut berkembang pula. Dapat diduga bahwa inovasi ini tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh SDM yang bermutu dengan jumlah yang memadai. Inovasi pendidikan hanya akan berhasil kalau mendapat dukungan dari SDM yang berkualitas dengan kuantitas yang cukup. Oleh karena itu pengembangan SDM merupakan kebutuhan yang tak dapat dihindarkan. Pelaksanaan inovasi pendidikan telah mendorong keharusan pengembangan secara transparan. Terjadinya pertumbuhan yang besar dan kompleks sangat membutuhkan peningkatan SDM secara bermakna.

Proses pelaksanaan SDM

Inovasi mengharuskan adanya berbagai penyesuaian terhadap berbagai pengaruh. Penyesuaian pada pengaruh lingkungan internal maupun eksternal sangat memerlukan terjadinya perubahan, termasuk perubahan SDM yang terlibat. Keberhasilan usaha apapun sangat tergantung pada SDM pelaksananya.4 Oleh karena itu pengembagan SDM sangat dibutuhkan, dan proses pengembangan SDM itu secara umum melalui tahap berikut :

determine human resource development (HRD) needs: menentukan kebutuhan pengembangan SDM
establish specific objectives: menetapkan tujuan khusus
select HRD methods: memilih metode pengembangan SDM
implement HRD program: pelaksanaan program pengembangan SDM
evaluate HRD program: mengevaluasi program pengembangan SDM
Bila telah ditetapkan bahwa pengembangan SDM memang dibutuhkan maka segera ditentukan dan dipilih metode yang akan dipakai, seperti latihan, pendidikan, atau pengembangan program. Harus diperhatikan pula bahwa tujuan pengembangan SDM jangan terlalu sempit dan tidak pula terlalu luas. Perlu ditekankan bahwa tujuan pengembangan SDM adalah untuk meningkatkan produktivitas secara menyeluruh, mencegah sikap mempertahankan hal lama (sikap kolot), dan mempersiapkan SDM pada tugas yang lebih tinggi/maju.


Dasar pengembangan SDM

Dasar atau pedoman dalam mengembangkan SDM adalah:

Inti sifat manusia yang positif, sosial, menuju ke depan, rasional dan realistik.
Manusia pada dasarnya adalah kooperatif, konstruktif dan dapat dipercaya
Manusia mempunyai tendensi untuk mengaktualisasi diri, berprestasi dan mempertahankan diri.
Manusia mempunyai kemampuan dasar untuk memilih tujuan yang benar dan membuat pilihan yang benar, jika ia dalam situasi yang bebas dari ancaman.


Maturitas dalam pengembangan SDM

Kualitas manusia dapat dilihat dari beberapa hal, salah satunya adalah dari maturitas atau kematangan kepribadiannya. Maturitas tidak tergantung pada usia atau gelar yang disandang, dan tidak dapat dimiliki secara otomatis tetapi harus diciptakan dan dipelihara dengan baik. Agar mampu menjadi tenaga yang aktif, produktif dan berkualitas maka ia harus memiliki kematangan kepribadian karena seseorang yang berkepribadian matang akan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Mampu beradaptasi dengan setiap stresor yang dihadapinya. Mempunyai pengertian tentang motivasi orang, cepat tanggap, dan mampu mengendalikan dirinya sehingga tidak memaksakan kehendak. Sikap dan tingkah lakunya tampak sebagai orang yang sabar.
2. Mempunyai pikiran dan pandangan yang luas, bertindak berdasarkan pelajaran dan pengalaman masa lampaunya, dengan demikian ia akan selalu dapat mengubah bahkan mengubah kehidupan masa depan yang lebih baik.
3. Mampu menerima kesalahannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Ia menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang lemah yang bisa lalai dan lupa sehingga ia harus dapat menerima kelemahan yang ada pada dirinya, dan selalu dapat belajar dari kesalahannya yang lalu.
4. Mampu dan mengerti akan kehidupan di masa-masa yang akan datang. Ia akan bersedia berkorban pada masa kini untuk masa datang yang lebih baik. Tidak terpaku pada masa sekarang tetapi mampu melihat jauh ke depan sehingga hidupnya akan selalu dibekali dengan keinginan untuk selalu memperbaiki kehidupannya. Ia mampu berpikir bahwa sesuatu yang kurang dapat diperbaiki dan yang telah baikpun masih bisa diperbaiki lagi.
5. Memiliki sifat altruistik yang menonjol dan mantap sehingga ia mampu dan mau berkorban untuk kepentingan orang lain, baik berkorban kesenangan, waktu, pikiran, tenaga, bahkan harta kekayaan. Memiliki integritas yang tinggi sehingga mudah bekerja sama dengan baik dan tidak egois karena ia jauh dari sifat mementingkan diri sendiri.
6. Mampu bersikap terbuka sehingga ia berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah. Ia akan mampu menerima realita yang dihadapinya.
7. Mampu dan dapat bertanggung jawab pada segala tindakannya. Ia sadar bahwa hidup ini harus dihadapinya dengan sungguh-sungguh dan dengan persiapan yang baik. Ia akan selalu berpedoman bahwa hari esok harus lebih baik dari hari sekarang.


Motivasi dalam pengembangan SDM

Motivasi adalah keinginan atau gairah untuk melakukan sesuatu.
Tanpa motivasi tak akan ada kegiatan karena tanpa motivasi orang akan menjadi pasif. Oleh karena itu pada setiap usaha apapun timbulnya motivasi sangat dibutuhkan. Untuk mau berkembang orang juga memerlukan motivasi. Agar suatu institusi memiliki SDM dengan motivasi memadai, banyak faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan SDM adalah terpenuhinya kebutuhan dasar (basic needs) manusia yang meliputi :

1. Kebutuhan biologik (biological needs), yang meliputi kebutuhan makan, minum, pakaian, perumahan dan kesehatan. Untuk memenuhi kebutuhan ini maka yang perlu diperhatikan adalah gaji atau upah yang memadai, jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jam kerja, jam istirahat, dan beban kerja.

2. Kebutuhan akan kasih sayang (love and to be loved) yang dapat dipenuhi dengan memperhatikan adanya wadah untuk komunikasi yang baik secara horizontal maupun vertikal. Upayakan untuk menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi jarak atau gap antara perseorangan ataupun antar kelompok. Hindari birokrasi. Kompetisi hendaknya dilakukan secara sehat. Transparansi sangat dibutuhkan.

3. Kebutuhan akan rasa aman (safety and security) yang dapat dipenuhi dengan upaya mencegah terjadinya isolasi sosial baik pada perseorangan maupun kelompok. Manajemen harus diperbaiki menuju manajemen yang terbuka. Konflik yang terjadi harus diselesaikan dengan tidak memihak. Kebutuhan akan rasa aman ini timbul karena orang berpikir akan masa depannya seperti mereka berpikir akan kebutuhan masa sekarang. Orang ingin bebas dari ancaman, butuh mendapatkan perlindungan dari bahaya dan kecelakaan, serta mendapatkan lingkungan yang damai.

4. Kebutuhan akan rasa memiliki dan dimiliki (sense of belonging), yang dapat dicapai dengan cara memperbaiki sistem organisasi kerja yaitu dengan memperhatikan setiap komponen yang ada di dalam sistem itu tanpa pandang bulu. Pendayagunaan SDM harus serasi, dan pembagian kerja (job description) harus jelas. Pengembangan tiap individu agar diperhatikan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimilikinya.

5. Kebutuhan akan rasa dihargai (ego, status, and esteem needs). Termasuk dalam kebutuhan ini adalah : the desire for prestige, status, dominance, recognition, attention, importance, dan appreciation. Kebutuhan ini dapat dipenuhi antara lain dengan menciptakan suasana yang jelas antara adanya penghargaan dan hukuman (reward & punishment). Bagi mereka yang memang berkualitas harus diberi penghargaan yang sesuai dan bagi mereka yang salah dan melanggar serta bekerja kurang baik harus pula mendapat teguran atau hukuman yang memadai. Kebutuhan ini akan didapat pula bila dapat dicegah adanya situasi penolakan (reject) baik pada perorangan ataupun pada suatu kelompok. Hindari adanya kondisi atau situasi feodalisme.

6. Kebutuhan aktualisasi diri (actualization) yang dapat terpenuhi dengan adanya lapangan kerja yang memadai, serta memberikan kesempatan seluas-luasnya pada mereka yang memang ingin berkembang. Hindari dan cegah adanya lingkungan yang suka menghambat dengan perencanaan yang baik.
7. Konsep tingkat kebutuhan manusia menurut Maslow mampu menjelaskan tentang motivasi orang secara umum. Meskipun demikian perbedaan alasan akan kebutuhan itu tetap tidak dapat dijelaskan, demikian pula nilai tiap kebutuhan itu. Kebutuhan manusia berubah dari hari ke hari, bahkan dari menit ke menit. Intensitas tiap kebutuhan yang sama juga sangat bervariasi, tidak hanya antara individu tetapi juga pada kehidupan individu yang sama. Suatu saat orang butuh companionship tetapi pada saat yang lain ia butuh kesendirian.

Bila kebutuhan dasar itu dapat terpenuhi maka orang akan termotivasi untuk berkembang. Hal ini akan mempermudah tercapainya pelaksanaan inovasi yang ingin memperbaiki pendidikan, dan tujuan perbaikan pendidikan adalah untuk menaikkan daya guna dengan hasil akhir keluaran yang lebih baik.


Penutup

Mengembangkan SDM agar menjadi tenaga yang handal, aktif, produktif dan berkualitas merupakan tanggung jawab bersama. Terpenuhinya kebutuhan dasar merupakan sumber kekuatan yang sangat diperlukan untuk dapat menunjang pengembangan SDM menjadi tenaga yang matang.

Tekanan pada tujuan pengembangan SDM adalah untuk meningkatkan produktivitas secara menyeluruh, mencegah timbulnya pola pikir kolot, dan mempersiapkan SDM untuk mampu melakukan tugas yang lebih berbobot.


Daftar pustaka

Jacob. Perubahan-perubahan dalam pendidikan kedokteran-Renungan, ramalan, dan saran. Berkala Ilmu Kedokteran XII 1980;suppl:1-20.
Radiopoetro. Filsafat kedokteran. Berkala Ilmu Kedokteran 1980;XII:suppl 21-30.
Mondy RW, Noe RM. Human resource management. Fourth Edition. Boston: Publication Allyn & Bacon, 1990;275-80.
Hornby P, Ray DK, Shipp PJ, Hall TL. Guidelines for health manpower planning. WHO, Geneva 1980;7-43.
Martaniah SM. Konseling pribadi. Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, 1985.
D'Souza, A. Leadership, a trilogy on leadership and effective management. Nairobi, Kenya: Pauline Publication Africa, 1995:235-47.
Utomo T, Ruijter K. Peningkatan dan pengembangan pendidikan, manajemen perkuliahan dan metode perbaikan pendidikan. Jakarta: PT Gramedia, 1989:8-10.
oleh :
Soewadi
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa,
Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta




















KUNCI ILMU

Sabtu, 2009 Mei 16
Perlunya Program Inovasi di Lembaga Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN



A. Latar Belakang

Dengan adanya kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk menyesuaikan tuntutan kebutuhan serta aspirasi bangsa Indonesia di masa depan akan membawa implikasi terhadap perubahan-perubahan kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Misi pendidikan nasional adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif yang adaptable terhadap perubahan dan kebutuhan stakeholders. Disamping itu, lembaga pendidikan dapat menjawab fenomena empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do learning to be, and learning to live together). Untuk itulah lembaga pendidikan berupaya mewujudkannya melalui inovasi-inovasi pendidikan.

Suatu inovasi tidak begitu saja dapat diterima. Perubahan-perubahan yang dibawa inovasi memerlukan persiapan dan waktu yang panjang, Kecepatan pelaksanaannya tergantung pada kondisi sekolah dan kesiapan para pelaksana. Cepat atau lambatnya suatu inovasi diterima oleh masyarakat atau sekolah tergantung pada karakteristik inovasi tersebut Menurut Everett M. Rogers (1983), ada lima karakteristik suatu inovasi agar dapat diterima, yaitu:

Keuntungan relatif, yaitu sejauh mana inovasi dianggap menguntungkan bagi penerimanya. Tingkat keuntungan atau kemanfaatan suatu inovasi dapat diukur dari nilai ekonomi, kepuasan, dan status sosial, atau karena mempunyai komponen yang sangat penting. Makin menguntungkan bagi penerima makin cepat tersebarnya inovasi.

Kompatibel, yaitu tingkat kesesuaian inovasi dengan nilai, pengalaman masa lampau, dan kebutuhan penerima.

Kompleksitas, yaitu tingkat kesukaran untuk memahami dan menggunakan inovasi bagi penerima. Suatu inovasi yang mudal dimengerti dan mudah digunakan akan cepat tersebar, sedangkan inovasi yang sukar dimengerti atau sukar dipergunakan akan lambat proses penyebarannya.

Triabilitas, yaitu dapat dicoba atau tidaknya suatu inovasi oleh penerima.

Observabilitas, yaitu mudah tidaknya diamati suatu inovasi.

Fullan (1996) menerangkan bahwa tahun 1960-an adalah era di mana banyak inovasi-inovasi pendidikan kontemporer diadopsi, seperti matematika, kimia dan fisika baru, mesin belajar (teaching machine), pendidikan terbuka, pembelajaran individu, pengajaran secara team (team teaching) dan termasuk dalam hal ini adalah sistem belajar mandiri.

Berbicara mengenai inovasi (pembaharuan) mengingatkan kita pada istilah invention dan discovery. Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Dalam kaitan ini Ibrahim (1989) mengatakan bahwa inovasi adalah penemuan yang dapat berupa sesuatu ide, barang, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah 1992:80). Faktor-faktor yang dijadikan Pertimbangan pihak adopter dalam membuat keputusan untuk menerima atau menolak produk suatu inovasi jika dikaitkan dengan pemikiran Everett M. Rogers (1983) dalam diffusion of innovasion dipengaruhi oleh 5 (lima) karakteristik inovasi.

Rumusan Masalah

Pengapa perlu innovasi di lembaga pendidikan? Dan saja manfaatnya?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penlisan makalah ini, selain untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Manajemen Inovasi Pendidikan, juga diharapkan dapat menjadi sumber inspirasi bagi orang-orang yang hidup di kalangan pendidikan untuk senantiasa menciptakan inovasi guna meningkatkan kualitas pendidikan yangb lebih baik.

D. Manfaat Penulisan

Semoga makalah ini dapat mengetuk pintu hati dan membuka mata para pejabat pemerintah, guru-guru, para orang tua serta orang-orang yang bertanggung jawab dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Negara Indonesia.


BAB II

PEMBAHASAN


A. Inovasi Pendidikan

Inovasi adalah: ide-ide baru, kegiatan-kegiatan baru, atau obyek-obyek yang dapat dirasakan sebagai sesuatu yang baru oleh individu atau masyarakat sasaran penyebaran inovasi. Lionberger dan Gwin (1982) mengartikan inovasi tidak sekadar sebagai sesuatu yang baru, tetapi lebih luas dari itu, yakni sesuatu yang dinilai baru atau dapat mendorong terjadinya pembaharuan dalam masyarakat atau pada lokalitas tertentu.

Pengertian “baru” disini, mengandung makna bukan sekadar “baru diketahui” oleh pikiran (cognitive), akan tetapi juga baru karena belum dapat diterima secara luas oleh seluruh warga masyarakat dalam arti sikap (attitude) dan juga baru dalam pengertian belum diterima dan dilaksanakan/diterapkan oleh seluruh warga masyarakat setempat.

Pengertian inovasi tidak hanya terbatas pada benda atau barang hasil produksi saja, tetapi mencakup: ideologi, kepercayaan, sikap hidup, informasi, perilaku, atau gerakan-gerakan menuju kepada proses perubahan di dalam segala bentuk tata kehidupan masyarakat. Dengan demikian, pengertian inovasi dapat semakin diperluas menjadi

“Sesuatu ide, produk, informasi teknologi, kelembagaan, perilaku, nilai-nilai, dan praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima, dan digunakan/diterapkan/dilaksanakan oleh sebagian besar warga masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikaan mutu hidup setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan”.

Pengertian “baru” yang melekat pada istilah inovasi tersebut bukan selalu berarti baru diciptakan, tetapi dapat berupa sesuatu yang sudah “lama” dikenal, diterima, atau digunakan/diterapkan oleh masyarakat di luar sistem sosial yang menganggapnya sebagai sesuatu yang masih “baru”. Pengertian “baru” juga tidak selalu harus datang dari luar, tetapi dapat berupa teknologi setempat (indegenuous technology) atau kebiasaan setempat (kearifan tradisional) yang sudah lama ditinggalkan.

B. Perlunya Inovasi di Lembaga Pendidikan

Inovasi di lembaga pendidikan adalah langkah tepat yang harus diambil oleh pimpinan di lembaga tersebut, hal ini mengingat percepatan kemajuan zaman semakin melaju dengan akselerasi yang luar biasa, sementara itu dunia pendidikan juga dituntut untuk mengimbangi percepatan kemajuan tersebut. Seorang pmipinan di lembaga pendidikan memang merupakan “lokomotif” dari sebuah lembaga pendidikan/sekolah, maju tidaknya sekolahan tergantung dari upaya keras kepala sekolah dalam memanage sekolahan tersebut. Dalam kehidupan modern sekarang ini, pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan yang sangat cepat dan kadang-kadang kehadirannya sulit diprediksikan, sehingga menuntut setiap organisasi untuk dapat memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif terhadap berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari adanya perubahan. Begitu pula dengan sekolah, sebagai institusi yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan akan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan. Ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, lambat laun akan dapat menimbulkan keterpurukan sekolah itu sendiri, dan habis ditelan oleh perubahan.Bentuk sikap antisipatif dan adaptif ini dapat dilakukan melalui upaya untuk melaksanakan inovasi secara terus-menerus dalam proses manajemen. Jika kita mengacu pada konsep Total Quality Manajemen, maka upaya perbaikan secara terus menerus dalam proses manajemen di sekolah menjadi kebutuhan organisasi yang sangat mendasar.

Salah satu kaidah dalam mengaplikasikan TQM adalah adanya perbaikan kinerja sistem secara berkelanjutan. Untuk itu, kegiatan inovasi menjadi amat penting adanya. Berbicara tentang sikap antisipatif ini, kita akan diingatkan pula dengan konsep budaya organisasi yang adaptif yang dikemukakan oleh Ralph Klinmann bahwa budaya adaptif merupakan sebuah budaya dengan pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan pemecahan yang dapat berfungsi. Ada suatu rasa percaya (confidence) yang dimiliki bersama.

Para anggotanya percaya, tanpa rasa bimbang bahwa mereka dapat menata olah secara efektif masalah baru dan peluang apa saja yang akan mereka temui. Kegairahan yang menyebar luas, satu semangat untuk melakukan apa saja yang dia hadapi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Para anggota ini reseptif terhadap perubahan dan inovasi. Dengan demikian, sikap antisipatif dan adaptif terhadap perubahan seyogyanya menjadi bagian dari budaya organisasi di sekolah, yang ditunjukkan dengan upaya melakukan berbagai inovasi pendidikan.

Menurut santoso (1974) tujuan utama inovasi, yakni meningkatkan sumber-sumber tenaga, uang dan sarana termasuk struktur dan prosedur organisasi. Tujuan inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas : sarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya (menurut kriteria kebutuhan peserta didik, masyarakat dan pembangunan) dengan menggunakan sumber, tenaga, uang, alat dan waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya.

Kalau dikaji, arah tujuan inovasi pendidikan Indonesia tahap demi tahap, yaitu :

1. Mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu dan tekhnologi sehingga makin lama pendidikan di Indonesia makin berjalan sejajar dengan kemajuan-kemajuan tersebut.

2. Mengusahakan terselenggarakannya pendidikan sekolah maupun luar sekolah bagi setiap warga Negara, misalnya meningkatkan daya tampung usia sekolah SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi.

3. Disamping itu, akan diusahakan peningkatan mutu yang dirasakan makin menurun dewasa ini. Dengan sistem penyampaian yang baru, diharapkan peserta didik menjadi manusia yang aktif, kreatif dan terampil memecahkan masalahnya sendiri.

Adapun tujuan inovasi pendidikan di Indonesia pada umumnya adalah :

1. Lebih meratanya pelayanan pendidikan

2. Lebih serasinya kegiatan belajar

3. Lebih efisien dan ekonomisnya pendidikan

4. Lebih efektif dan efisiensinya sistem penyajian

5. Lebih lancar dan sempurnanya sistem informasi kebijakan

6. Lebih dihargainya unsur kebudayaan nasional

7. Lebih kokohnya kesadaran, identitas dan kesadaran nasional

8. Tumbuhnya masyarakat gemar belajar

9.Tersebarnya paket pendidikan yang memikat, mudah dicerna dan mudah diperoleh

10. Meluasnya kesempatan kerja

C. Masalah-Masalah yang Menuntut Adanya Inovasi

Pendidikan kita dewasa ini menghadapi berbagai tantangan dan persoalan. Adapun masalah-masalah yang menuntut diadakan inovasi di Indonesia, yaitu :

1. Bertambahnya jumlah penduduk yang sangat cepat dan sekaligus bertambahnya keinginan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang secara kumulatif menuntut tersedianya sarana pendidikan yang memadai.

2. Berkembangnya ilmu pengetahuan yang modern menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan penguasaan kemampuan terus menerus dan dengan demikian menuntut pendidikan yang lebih lama sesuai dengan konsep pendidikan seumur hidup (long education).

3. Berkembangnya tekhnologi yang mempermudah manusia dalam menguasai dan memanfaatkan alam dan lingkungannya, tetapi yang sering kali ditangani sebagai suatu ancaman terhadap kelestarian peranan manusiawi.

Tantangan-tantangan di atas lebih berat lagi dirasakan karena berbagai persoalan datang baik dari luar maupun dari dalam system pendidikan itu sendiri, yaitu di antaranya :

1. Sumber-Sumber yang makin terbatas dan belum dimanfaatkannya sumber yang ada secara efektif dan efisien.

2. Sistem pendidikan yang masih lemah dengan tujuan yang masih kabur, kurikulumnya belum serasi, relevan, suasana belum menarik dan sebagainya.

3. Pengelolaan pendidikan yang belum mekar dan mantap dan belum peka terhadap perubahan dan tuntutan keadaan, baik masa kini maupun masa akan datang.

D. Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan Dalam Inovasi Pendidikan

Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan dalam inovasi pendidikan adalah guru, siswa, kurikulum dan fasilitas, dan program/tujuan.

1. Guru

Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.

Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.

Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya.

2. Siswa

Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.

3. Kurikulum

Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.

4. Fasilitas

Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan. Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya. 5. Lingkup Sosial Masyarakat.

Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.

E. Karakteristik Inovasi Pendidikan

Faktor-faktor yang dijadikan pertimbangan pihak adopter (pengguna inovasi) dalam membuat keputusan untuk menerima atau menolak produk suatu inovasi jika dikaitkan dengan pemikiran Everett M. Rogers (1983) dalam diffusion of innovasion dipengaruhi oleh 5 (lima) karakteristik inovasi yaitu :

1. Relative advantage (Keunggulan relatif)

Para adopter akan menilai apakah suatu Inovasi itu relatif menguntungkan atau lebih unggul dibanding yang lainnya atau tidak. Untuk adopter yang menerima secara cepat suatu inovasi, akan melihat inovasi itu sebagai sebuah keunggulan.

Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dari beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise social, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin cepat inovasi tersebut dapat diadopsi.

2. Compatibility (Kompatibilitas/Konsisten)

Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible).Adopter juga akan mempertimbangkan pemanfaatan inovasi berdasarkan konsistensinya pada nilai-nilai, pengalaman dan kebutuhannya.

3. Complexity (Kompleksitas/kerumitan)

Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertentu ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada pula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi.

Adopter atau pengguna inovasi juga akan menilai tingkat kesulitan atau kompleksitas yang akan dihadapinya jika mereka memanfaatkan inovasi. Artinya bagi individu yang lambat mamahami dan menguasainya tentu akan mengalami tingkat kesulitan lebih tinggi dibanding individu yang cepat memahaminya. Tingkat kesulitan tersebut berhubungan dengan pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk mempelajari istilah-istilah dalam inovasi itu.

4. Trialability (Kemampuan untuk dapat diuji)

Kemampuan untuk diuji cobakan adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di uji-cobakan dalam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat dengan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya harus mampu menunjukan (mendemonstrasikan) keunggulannya.

Kemampuan untuk dapat diuji bertujuan untuk mengurangi ketidakpastian. Mempunyai kemungkinan untuk diuji coba terlebih dahulu oleh para adopter untuk mengurangi ketidakpastian mereka terhadap inovasi itu.


5. Observability (Kemampuan untuk dapat diamati)

Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, semakin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility); kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi.

Dengan kemampuan untuk diamati akan mendorong adopter untuk memberikan penilaian apakah inovasi itu mampu meningkatkan status sosial mereka di depan orang lain sehingga dirinya akan dianggap sebagai orang yang inovatif.


BAB III

KESIMPULAN


Inovasi pendidikan adalah inovasi dalam bidang pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan. Jadi, inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati berbagai hal yang baru bagi hasil seseorang atau kelompok orang (masyarakat), baik berupa hasil inverse (penemuan baru) atau discovery (baru ditemukan orang), yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah pendidikan.

Inovasi di lembaga pendidikan adalah langkah tepat yang harus diambil oleh pimpinan di lembaga tersebut, hal ini mengingat percepatan kemajuan zaman semakin melaju dengan akselerasi yang luar biasa, sementara itu dunia pendidikan juga dituntut untuk mengimbangi percepatan kemajuan tersebut. Seorang pmipinan di lembaga pendidikan memang merupakan “lokomotif” dari sebuah lembaga pendidikan/sekolah, maju tidaknya sekolahan tergantung dari upaya keras kepala sekolah dalam memanage sekolahan tersebut. Dalam kehidupan modern sekarang ini, pendidikan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan yang sangat cepat dan kadang-kadang kehadirannya sulit diprediksikan, sehingga menuntut setiap organisasi untuk dapat memiliki kemampuan antisipatif dan adaptif terhadap berbagai kemungkinan sebagai konsekwensi dari adanya perubahan. Begitu pula dengan sekolah, sebagai institusi yang bergerak dalam bidang jasa pendidikan akan dihadapkan pada berbagai tantangan perubahan. Ketidakmampuan sekolah dalam mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, lambat laun akan dapat menimbulkan keterpurukan sekolah itu sendiri, dan habis ditelan oleh perubahan.

Dengan adanya kecenderungan globalisasi dan keinginan untuk menyesuaikan tuntutan kebutuhan serta aspirasi bangsa Indonesia di masa depan akan membawa implikasi terhadap perubahan-perubahan kebijakan, khususnya dalam bidang pendidikan. Misi pendidikan nasional adalah menghasilkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif yang adaptable terhadap perubahan dan kebutuhan stakeholders. Disamping itu, lembaga pendidikan dapat menjawab fenomena empat pilar pendidikan (learning to know, learning to do learning to be, and learning to live together). Untuk itulah lembaga pendidikan berupaya mewujudkannya melalui inovasi-inovasi pendidikan.



Diposkan oleh IIT ARAMSIH di 10:03
0 komentar:

Poskan Komentar



Posting Lama
Halaman Muka
Langgan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut

Arsip Blog
▼ 2009 (2)
▼ Mei (1)
Perlunya Program Inovasi di Lembaga Pendidikan
► Maret (1)
Mengenai Saya
IIT ARAMSIH
Lihat profil lengkapku